"Puisi Pendek Buat
Sitor Situmorang"
Karya: Warih Subekti
Bunga
di dalam vas terbuat dari batu
mengeras
dan layu
Meski agak merasa terganggu
dengan kata ‘Buat’ yang digunakan pada judul puisi penyair Warih Subekti ini,
tetapi hal itu tidak mengurangi esensi dari isi puisinya yang terbilang pendek
dalam penulisan namun panjang dalam penceritaan.
Mengapa kata ‘Buat’ yang digunakan
dan tidak dipilih kata ‘Untuk’ pada penulisan judul puisi ini? Seperti biasa,
pertanyaan selalu mengawali dari setiap upaya untuk menemukan sesuatu. Dimana,
kapan, mengapa, bagaimana, apa, siapa, dan masih banyak kata tanya lain yang
bisa digunakan sebagai pelecut dalam melakukan pencarian.
Ketika kata ‘Buat’ yang dipilih sang
penyair pada judul puisinya, hal itu akan mengingatkan kita dengan kata ‘Buat’ yang
biasa juga kita llisankan dalam perbincangan sehari-hari. Kata ‘Membuat, membuatkan,
dibuat, dibuatkan, dan pembuatan’ berasal dari satu kata dasar yang sama, yakni
buat. Jika ditelusuri dari makna kata dasarnya, kata buat bisa yang notabene
merupakan kata kerja bisa diartikan sebagai upaya agar sesuatu terjadi, terbentuk,
atau terwujud, sehingga ketika mendapatkan imbuhan me-, me-kan, di, di-kan, dan
pe-an, maka semua kata baru yang terbentuk tersebut akan mengarah pada satu
hal, yakni suatu upaya demi tercipta, terjadi, terbentuk, atau terwujud sesuatu
tanpa meninggalkan makna kata dasar ‘buat’ sebagai sari utama terbentuknya
kata-kata berimbuhan tersebut.
Apakah pemilihan kata yang
digunakan dalam judul puisi ini bisa disebut sebagai kekeliruan?
Ada 2 jawaban dengan alasan berbeda
yang bisa dikemukakan untuk menanggapi pertanyaan di atas. Jawaban pertama,
diksi/ kata yang dipilih oleh sang penyair kurang tepat karena judul ‘Puisi
Pendek Buat Sitor Situmorang’ sama sekali tidak menyiratkan makna bahwa isi puisi
tersebut merupakan upaya mencipta, menjadikan, membentuk, mau pun mewujudkan
sosok seorang Sitor Situmorang sebagai subjek puisi (dalam perkembangan ilmu
pendidikan, manusia tidak boleh lagi disebut sebagai objek) ‘Menjadi’ sesuatu yang
baru, tetapi lebih mengarah pada lukisan mengenai seorang Sitor Situmorang.
Jawaban kedua, bisa saja pemilihan
kata ‘Buat’ dalam judul puisi tersebut bisa dibenarkan meski alasan yang
mendasarinya relatif lemah. Bahasa seperti halnya budaya selalu mengalami
perubahan. Begitu pun dengan kata ‘Buat’ yang dalam perbincangan sehari-hari
jamak digunakan menjadi pengganti kata ‘Untuk’. Jika dasar terjalinnya komunikasi
adalah bisa diterimanya pemahaman yang sama antara komunikan dengan
komunikator, maka pemilihan kata ‘Buat’ dalam judul puisi ini pun bisa dibenarkan
karena pembaca juga akan melazimkannya meski jika ditinjau dari kaidah
berbahasa yang baik dan benar akan terasa sedikit memaksakan diri. Sama halnya ketika
membuat sebuah analogi, apakah makan dengan kaki merupakan sesuatu yang benar?
Jika dasar yang digunakan adalah hakikat
makan, yakni tersampaikannya makanan ke dalam mulut dan menelannya ke dalam lambung,
maka hal itu bisa dibenarkan. Tetapi jika dasar yang digunakan juga menyertakan
sudut pandang etika, maka jelas hal semacam itu akan ditolak. Tentu saja analogi
yang sedang kita bahas adalah cara makan orang normal dan bukan seseorang yang
memiliki disabilitas tertentu.
Lantas bagaimana jika hal
tersebut dikaitkan dengan lisensia poetika yang seringkali diartikan secara
sederhana sebagai kebebasan penyair? Jika pisau analisa ini yang kita gunakan,
maka kita akan menemukan retorika-retorika tanpa ujung seperti halnya
memperdebatkan apakah kata ‘penis’ dan ‘vagina’ harus pula disebut dan dilarang
dalam rangkaian aturan pada UU Anti Pornografi. Untuk menyederhanakan
pembahasan, pembaca bisa menilai sendiri kata ‘Buat’ pada judul dengan kata ‘terbuat’
pada baris pertama isi puisi. Apakah makna 2 kata tersebut berdekatan dengan
kata dasarnya, ataukah jauh terpisah seperti halnya kata ‘bisa’ yang berarti
dapat dan ‘bisa’ yang berarti racun?
Terlepas dari kata ‘Buat’ pada
judulnya, isi puisi ini sangat menarik untuk diselami. Begitu pun ketika kita
menyelami diksi dari setiap kata yang digunakan. Pada baris pertama tertulis ‘Bunga
di dalam vas terbuat dari batu’. Bisakah kita membayangkan kata ‘Bunga’ itu
melayang-layang di dalam benak? Meski ada banyak warna (kuning, hijau, putih,
dan warna lain), tetapi ketika kita membayangkannya, saya merasa yakin bahwa
warna merah yang akan mendominasi pikiran banyak orang ketika sang penyair
menyebut kata ‘Bunga’ dalam puisinya, dan membayangkan bahwa bunga tersebut
beraroma harum meski tidak selamanya setiap bunga beraroma seperti itu. Hal itu
tidak terlepas dari sifat warna merah yang memang lebih mudah menarik perhatian
dibandingkan warna lain, lebih mudah melekat dan juga lebih mudah diambil kembali
dari dalam ingatan ketika otak melakukan memory recall.
Dari kata ‘Bunga’ pada puisi ini seolah
kita juga diingatkan kembali bahwa selain kemampuan merekam dan menganalisa
yang berbeda, otak manusia ternyata juga memiliki suatu sistem kerja objektif
yang bisa digeneralisir. Hal itulah yang kemudian memunculkan cabang ilmu baru
setelah psikologi, yakni ilmu mengenai psikologi massa yang mempelajari
perilaku kejiwaan kelompok manusia.
Ramuan yang ‘pas’ begitu terasa
ketika kita menyelam lebih dalam pada baris pertama puisi ini. Ketika sang penyair
menulis kalimat ‘Bunga di dalam vas terbuat dari batu’, kata ‘vas’ dan ‘batu’
menjadi 2 kata benda yang kemudian memberi gambaran kepada pembaca mengenai
tempat dan asal mula ‘Bunga’ atau Sitor Situmorang yang dimaksud dalam puisi
ini. Sitor Situmorang dalam puisi ini diibaratkan sebagai bunga berwarna merah
dan beraroma harum, tetapi ia terpenjara di dalam vas. Meski ‘Vas’ dapat dimaknai
sebagai penjara bagi ‘Bunga’, tetapi ‘Vas’ juga dapat dimaknai sebagai tempat
untuk ‘memajang’. Apakah yang dimaksud penyair Warih Subekti adalah Sitor
Situmorang ibarat sesuatu yang diletakan di etalase seperti halnya bunga yang
dipenjara sekaligus dipajang agar bisa dinikmati keindahannya?
Diksi ‘Batu’ pada baris pertama
puisi ini pun akan membuat kita semakin berpikir. Jika ‘bunga’ terbuat dari ‘batu’,
bukankah adanya bunga tersebut karena diukir oleh orang lain dan tidak tumbuh
dengan sendirinya? Ataukah ‘batu’ yang dimaksud adalah sifat dari subjek yang
ingin diungkap dalam puisi ini? Sifat yang keras, tidak goyah, dan sebagainya? Ataukah
ia adalah bunga dari batu yang bening seperti akik dan permata?
Jika kita mencermati kalimat
berikutnya (mengeras dan layu), sepertinya yang dimaksud sang penyair dalam
puisi ini adalah sifat keras batu tersebut. Tetapi mengapa sang penyair
menggunakan kata ‘mengeras’ dan bukan ‘keras’? Jika menggunakan kata ‘keras’,
maka kita akan tahu bahwa itulah sifat asalnya, tetapi ketika penyair
menggunakan kata ‘mengeras’, maka pembaca akan menangkap pesan bahwa ada proses
yang menjadi sebab ‘keras’-nya batu tersebut. Lantas mengapa di penghujung
puisi sang penyair memilih kata ‘layu’? Adakah sesuatu yang tersembunyi sehingga
terpilih kata yang justru berlawan dengan kata sebelumnya, seolah dua kata itu
sengaja ingin dibenturkan?
Tidak akan pernah ditemukan jawaban
jika pembaca hanya membaca puisi ini tanpa berusaha mencari tahu mengenai latar
belakang dilahirkannya karya ini. Lantas apakah kita bisa menjustifikasi bahwa puisi
ini gelap?
Tidak! Puisi ini ibarat cahaya
sekaligus bayangan. Untuk mengetahui kesungguhan dari sesuatu yang ingin
diungkap tidak cukup dengan hanya
melihat sinarnya, tetapi mengikuti ke mana ia menuju dan kepada siapa ia
menerpa. Penyair Warih Subekti berhasil memantik pembaca untuk mengetahui lebih
jauh tentang apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya yang ‘telah’ dan ‘sedang’ dilakukan
dan dialami subjek dalam puisinya, karena pada hal itulah puisi ini sedang
menuntun kita.
Salam
(AS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan