Minggu, 30 November 2014

Keris Kyai Sengkelat

Kyai Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada jamanMajapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri.

Mpu Supa adalah salah satu santri Sunan Ampel. Konon bahan untuk membuat Kyai Sengkelat adalah cis, sebuah besi runcing untuk menggiring onta. Konon, besi itu didapat Sunan Ampel ketika sedang bermunajat. Ketika ditanya besi itu berasal darimana, dijawab lah bahwa besi itu milik Muhammad saw. Maka diberikan lah besi itu kepada Mpu Supa untuk dibuat menjadi sebilah pedang.


Namun sang mpu merasa sayang jika besi tosan aji ini dijadikan pedang, maka dibuatlah menjadi sebilah keris luk tiga belas dan diberi nama Kyai Sengkelat. Setelah selesai, diserahkannya kepada Sunan Ampel. Sang Sunan menjadi kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Menurutnya, keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu, seharusnya besi itu dijadikan pedang yang lebih cocok dengan budaya Arab, tempat asal agama Islam. Maka oleh Sunan Ampel disarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan kepada Prabu Brawijaya V.
Ketika Prabu Brawijaya V menerima keris tersebut, sang Prabu menjadi sangat kagum akan kehebatan keris Kyai Sengkelat. Dan akhirnya keris tersebut menjadi salah satu piyandel (maskot) kerajaan dan diberi gelar Kangjeng Kyai Ageng Puworo, mempunyai tempat khusus dalam gudang pusaka keraton.
Pusaka baru itu menjadi sangat terkenal sehingga menarik perhatian Adipati Blambangan. Adipati ini memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencuri pusaka tersebut demi kejayaan Blambangan, dan berhasil. Mpu Supa yang telah mengabdi pada kerajaan Majapahit diberi tugas untuk mencari dan membawa kembali pusaka tersebut ke Majapahit. Dalam menjalankan tugasnya, sang Mpu menyamar sebagai seorang pandai besi yang membuat berbagai alat pertanian dan mengganti namanya menjadi Ki Nambang.


Di samping pandai membuat alat pertanian, beliau juga membuat tombak, pedang dan keris yang kemudian dipamerkan di tempat-tempat keramaian, di Blambangan. Seketika pameran tersebut memancing perhatian banyak orang. Banyak sekali pesanan datang dari para pejabat kadipaten Blambangan. Termasuk patih Adipati Blambangan yang memesan Keris Carangsoka.
Akhirnya sang adipati Blambangan menyaksikan keris ciptaan Ki Nambang, sebilah keris Carangsokayang sangat bagus dan ampuh. Ketika ditusukkan ke pohon pisang, seketika itu seluruh daun pisang menjadi layu. Karenanya sang mpu di undang untuk menghadap ke kadipaten guna membicarakan suatu hal yang rahasia dengan alasan agar percikan bunga api besi bahan kerisnya, tidak menjadi bencana bagi rakyat Blambangan.


Ternyata setelah Ki Nambang datang menghadap, didapatnya tugas untuk membuat “putran” atau tiruan Kangjeng Kyai Puworo (Kyai Sengkelat). Ki Nambang dengan siasatnya meminta disediakan perahu untuk membuat tiruan Kyai Sengkelat dengan alasan percikan bunga api besi bahan kerisnya tidak menimbulkan bencana bagi rakyat Blambangan.
Singkat cerita, akhirnya rencana mendapatkan kembali keris pusaka Majapahit itu berhasil tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan pertumpahan darah. Malah Ki Nambang akhirnya dianugerahi seorang putri kadipaten yang bernama Dewi Lara Upas, adik dari Adipati Blambangan itu sendiri. Serta mendapatkan gelar kebangsawanan sebagai Kangjeng Pangeran berikut tanah perdikan di Desa Pitrang. Maka namanya pun berubah menjadi Kangjeng Pangeran Pitrang yang bekerja sebagai mpu kadipaten Blambangan.


Sang Mpu yang berhasil melaksanakan tugas selalu mencari cara agar dapat kembali ke Majapahit. Ketika kesempatan itu tiba maka beliau pun segera kembali ke Majapahit dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi, beliau meninggalkan pesan kepada sang istri bahwa kelak jika anak mereka lahir laki-laki agar diberi nama Joko Suro, serta meninggalkan besi bahan membuat keris.


Lima belas tahun kemudian setelah Mpu Pitrang meninggalkan Blambangan, datang lah seorang pemuda yang mengaku sebagai anak mpu Supa. Ketika ditanya, ia mengaku bernama Joko Suro. Mpu meminta bukti berupa besi bahan membuat keris. Namun ketika diserahkan oleh Joko Suro, besi bahan itu telah menjadi sebilah keris. Ternyata selama dalam perjalanan mencari ayahandanya, besi itu oleh Joko Suro dipijit-pijit dan ditarik olehnya hingga menjadi sebilah keris kecil. Maka keris itu pun dinamakan Keris Kyai Bethok yang mempunyai keampuhan menyingkirkan niat jahat.

Sumber: lelenggono.wordpress.com


Jumat, 28 November 2014

Membaca "NYANYIAN HUJAN DI BAWAH MALAM", karya Penyair Riri Satria

apa yang terdengar dari nyanyian hujan?
kumpulan nada dari tetesan air
satu-satu jatuh ke hamparan dunia
nyayian hujan bermakna rindu
sering bermakna bahagia
sembari memberi kehidupan alam
setiap tetes membawa makna
tak terucap tapi tersirat
suatu rasa hati yang lara 
merindu makna bahagia
nyanyian hujan di bawah malam
membawa nada-nada bersama angin
menyampaikan pesan kehidupan
penuh keabadian melompati waktu
(cibubur – 02/10/2014)

Puisi. Kata itu begitu menyerap, seringkali diletakkan pada tempat paling terhormat di antara deretan jenis karya sastra lainnya, tetapi juga jamak didapati mengisi rak paling sepi di hampir seluruh toko buku. Kenyataan seperti itu seringkali menimbulkan pertanyaan yang diawali dengan kata ‘Mengapa’ di setiap pembahasan mengenai puisi –yang tak pernah berujung meski berpangkal—dilakukan. Sama seperti jatuhnya kata ‘Mengapa’ tersebut, kata itu pula yang mendatangi saya ketika penyair Riri Satria menyuguhkan ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Sebelum menekuri isi dari puisi yang disuguhkan, judul yang digunakan penyair Riri Satria ini sudah cukup memanggil-manggil untuk dimengerti lebih dekat, lebih dalam, dan tak sekedar ditonton hanya sebagai satu mahkota di taman bunga saja. Ada ‘keindahan yang indah’ dalam judul puisi tersebut; Hujan yang selalu bernyanyi, dan Malam yang selalu agung sehingga senantiasa menaungi.
‘Mengapa’ hujan selalu bernyanyi dan diasosiasikan dengan kata itu? Bukankah hujan itu berasa asin seperti airmata, dingin serupa wajah kaku yang menyimpan amarah, dan datang bertubi-tubi seperti pukulan yang tidak akan berhenti jika belum mencapai titik keletihan? Apakah hujan selalu bernyanyi dan tidak pernah menangis untuk menyampaikan kesedihannya?
Pertanyaan terakhir di atas akan mengingatkan kita dengan pertanyaan yang hampir sama, mengenai kicau burung yang sering pula disebut ‘nyanyian’. Bukankah tidak semua nyanyian menggambarkan kesenangan dan kebahagiaan hati, tetapi juga bisa melukiskan kesedihan, kemarahan, kegundahan, dan kecemasan yang disuguhkan dengan keindahan bahasa, nada dan irama? Dan ketika burung-burung itu ingin menyampaikan kegundahan, kesedihan, kemarahan, dan kecemasannya, mereka akan tetap bernyanyi, tetap membahasakannya dengan indah serupa puisi.
Tanpa banyak berdebat, pertanyaan demi pertanyaan yang muncul setelah judul puisi penyair Riri Satria memantik kita seolah mengantarkan kita pada salah satu simpulan bahwa itulah ‘Puisi’; nyanyian bahasa yang disampaikan dengan indah meski keindahannya tak selalu seindah kenyataan yang hendak disuarakan.
Sejatinya simpul dan simpulan bukanlah akhir dari segala sesuatu, sebab itu sebagaimana tanda titik yang menjadi ujung kalimat tidak mengharamkan kita untuk menulis kalimat berikutnya. Begitu pun ketika kita membuat sebuah simpul dari sebagian judul puisi penyair Riri Satria dan masih menyisakan bagian lain yang bisa kita jadikan sebagai lautan yang dapat diselami untuk ke dua kali, tentang malam yang selalu menaungi dalam rangkaian utuh judu ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Hanyakah Nyanyian Hujan yang berada di bawah Malam, ataukah segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawahnya? Jika kita menyusuri malam yang luasnya tak terbandingkan hanya dengan kata ‘siang’ yang kita rasakan di setengah permukaan bumi, tetapi jauh lebih luas dan menyentuh malamnya seluruh jagad raya, maka kita akan mengerti dan paham bahwa malam merupakan selimut yang utuh melingkupi segala ‘isi jagad semesta’, seperti lingkaran tali membola yang begitu sempurna sehingga kita tak pernah mengetahui di manakah ujung dan pangkalnya; lalu setelah itu kita juga menyadari bahwa alam semesta; bumi, matahari dan segala isinya berada di dalamnya; ternaungi tanpa sedikit pun yang bisa melarikan diri darinya karena malam berada di kanan dan di kiri kita; di atas dan di bawah kita; di barat, di timur, di utara, di selatan, dan bahkan di mana pun arah yang tidak bernama. Lantas mengapa penyair Riri Satria hanya menggunakan ungkapan ‘Di Bawah Malam’ yang secara sederhana berarti bahwa malamlah yang selalu berada di atas dan tidak ada malam yang berada di bawah ‘Hujan’?
Sepertinya tidak seperti itu makna yang sedang disuguhkan penyair ini. Beliau telah menyuguhkan kata dalam bahasa puisinya yang tidak dangkal, namun begitu dalam hingga menyentuh batas-batas hakiki, sama seperti ketika kita berusaha memahami apakah Tuhan yang menaungi kita adalah Tuhan yang hanya duduk manis di singgasana langit dan bukan Tuhan yang ‘ternyata’ berada pula di dasar bumi sebagai tempat yang sering kita anggap sebagai paling rendah di seluruh alam semesta; yang dekat tak tersentuh dan jauh namun melekat? Ataukah malam yang dimaksud penyair ini merupakan malam yang utuh, malam yang serupa tali membola, seperti sujud yang terlihat secara kasat mata merendahkan kening namun dalam kesejatiannya justru meninggikan derajat seseorang di mata Tuhannya?
Sepertinya, malam semacam itu pula yang dimaksudkan penyair Riri Satria dalam puisinya kali ini. Malam yang utuh; malam yang menaungi sekaligus menopang; malam yang gelap dan menyembunyikan ‘Nyanyian Hujan’ yang harus dibaca. Meminjam kalimat penyair Djawahir Muhamad dalam salah satu puisinya bahwa ‘cahaya menunjukan kedatangan’, maka pembaca pun membutuhkan cahaya itu; cahaya yang akan memberi petunjuk tentang bagaimana memaknai Nyanyian Hujan penyair Riri Satria; cahaya yang akan menguak gelapnya malam yang menaungi nada dan irama Hujan-Hujannya. Dan cahaya itu, adalah KATA dalam deret-baris ‘isi’ puisi sang penyair Riri Satria itu sendiri.
Salam. (AS)


Senin, 24 November 2014

Sejarah TO PADA TINDO ( Toraja )

     Tonna lambi’mo padang di Malua’, tonna se’ponmo Tallu Batu Papan diborong tallu mi Buntunna Bone, dipannola matampu’mi penduan palo-palo; dipennola matallo penduan palo-palo, dipennola tangngami padang pentallun palo-palo. Ma’urang sumassangmi Buntunna Bone tama Lepongan Bulan ma’bumbu’ sidoloanmi to Sendana Bonga tama Matari’ Allo. Rampo mi ussanggang lili’na Lepongan Bulan, tu’tunmi ussangka’ tikunna Matari’ Allo. Ma’lalong-lalong mi lan lili’na Lepongan Bulan, ma’panggalo’-galo’mi lan tikunna Matari’ Allo. Dilutu tombangmi bubun dirangkang, diossak balatananmi panambu bulaan. Diteka’mi bua layuk, dikala’pami kaluku undara, di embe’mi induk saang bunga’.

Apa maluangan sambu’ ia batu ba’tengna Pong Songgoi Limbu, apa mabomba luangan ia karangan pasiruanna Ne’Sanda Kada. Umpatuka’mi pa’inaan la untulak Buntunna Bone, umpasolo’mi Pa’ba’tengan la ullangda to Sendana Bonga. 
Untananmi pasa’ bongi la padang di Sarira umpabendanmi tammuan dipamalillin lan di Pata’ Padang. Dilandolalanni Pong Kalua’ rekke Randan Batu dilangka pa’taunanmi Karasiak langan Madandan; anna Topa’pak lan Mengkendek, Landoaak lan Boto’na Batara Langi, Ambabunga’ lan di Makale.

      Unnissung ma’kada situru’mi lan kombongan kalua’, unno’ko’ misa’ bungannami lan tinimbu malombe’, anna bendan To Pada Tindo. Dipasanmi to dipolondongna kada lanmai lili’na Lepongan Bulan ditambaimi ti dipomanuk muanena pangumpuran pau-pau lanmai tikunna Matari’ Allo:
1. Pong Kalua’ di randan Batu
2. Pong Songgoi Limbu lan di Limbu
3. Karasiak lan di Madandan
4. Landoaak na Batara Langi’ lan di Boto’
5. Ambabunga’ lan di Makale
6. Pong Boro lan di Maruang
7. Tumbang Datu lan di Bokko
8. Patobok lan di Tokesan
9. Kondo Patalo lan di Lampio
10. Paliuh, Pagonggang lan di Batualu
11. Ne’ Lollo lan di Leatung
12. Tomarere lan di Gantaran
13. Palondongan lan di Simbuang 
14. To Gandang lan di Sarapung
15. Pagunturan lan di Bebo’
16. Ne’ Tikuali lan di Ba’tan
17. To Bangkudu Tua lan di Malenong.
18. Takia’ Bassi lan di Angin-Angin.
19. Patabang Bunga’ lan di Tadongkon.
20. Salle Karurung lan di Paniki
21. Kattu lan di Buntao’
22. Palinggi lan di :La’bo’.
23. Sa’bu Lompo lan di Bonoran
24. Ne’ Birade lan di Tonga
25. Patasik lan di Pao.
26. Ne’ Malo’ lan di Tondon
27. Poppata’ lan di Nanggala.
28. Patora Langi’ lan di Langi’
29. Ne’ Patana’ lan di Kanuruan.
30. Ne’ Banne Langi’ lan di Kadundung.
31. Tibak Langi’ lan di Saloso.
32. Ne’ Kalelean lan di Sarira.
33. Banggai lan di Salu.
34. Songgi Patalo lan di Lemo.
35. Arring lan di Mendetek.
36. Lunte’ lan di Mareali
37. Rere lan di Lion
38. Baan Langi’ lan di Lapandan
39. Saarongre lam di Tondok Iring
40. Marimbun lan di Bungin
41. Panggeso lan di Tiromanda’.
42. Sando Pasiu’ lan di Pasang.
43. Tolanda’ lan di Santung.
44. Bangke Barani lan di Manggau
45. Parondonan lan di Ariang.
46. Sundallak lan di Burake.
47. Panggalo lan di Lemo
48. Bara’padang lan di Gandang Batu
49. Pong Arruan lan di Sillanan
50. Pong Dian lan di Tinoring
51. Pong barani lan di Marinding
52. Tobo’ lan di Tampo.
53. Puang Balu lan di Tangti
54. Kulukulu Langi’ lan di Palipu’
55. Pula’ lan di Tengan
56. Saranga’ lan di Lemo
57. Tanduk Pirri’ lan di Ala’
58. Pokkodo lan di Tagari
59. Kundu Bulaan (Mendila) lan di Sa’dan
60. Pangarungan lan di Tallung Lipu
61. Taruk Allo lan di Tallung Lipu
62. Tengkoasik lan di Barana’
63. Ne’ Rose’ lan di Sangbua
64. Lotong Tara lan di Bori’
65. Allopaa lan di Kayurame.
66. Rongre Langi’ lan di Riu.
67. Tangke Datu lan di Buntu Tondok
68. To Langi’ lan di Pongsake
69. Mendilakila’ lan di Rongkong.
70. Ne’ Darre’ lan di Makiki
71. Ne’ Mese’ lan di Baruppu’.
72. Sarungu’ lan di Pangala’.
73. Bonggai Napo lan di Napo
74. Usuk Sangbamban lan di To’tallang
75. Ambe’ Bendo’ lan di Awan
76. Ledong lan di Bittuang
77. Patikkan lan di Bambalu.
78. Gandang Langi’ lan di Mamasa
79. Ne’ Darre’ lan di Manipi.
80. Pong Rammang lan di Malimbong
81. Tandiri Lambun lan di Tapparan.
82. Batotoi Langi’ lan di Malimbong.
83. Pakumpang lan di Buntao’
84. Tandirerung lan di Ulusalu.
85. Pong Manapa’ lan di Se’seng.
86. Tokondo lan di Buakayu.
87. Mangi’ lan di Rumandan-Rano.
88. Mangapa’ lan di Mappa’.
89. Pappang lan di Palesan.
90. Batara Bau lan di Bau’.
91. Pong Bakkula’ lan di Redak.
92. Tangdierong lan di Baroko (Enrekang).
93. Bonggai Rano lan di Balepe’.
94. To Layuk lan di Simbuang.
95. Patitingan lan di Taleon.
96. Toisanga lan di Tanete (Rano).
97. Sodang lan di Ratte-Buakayu.
98. Lappatau lan di Tombang-Mappa’
99. To Ri Somba lan di Garappa’-Mappa’.
100. Sege’ lan di Bassean (Enrekang)
101. Mangopo lan di Sima – Simbuang.
102. Ponnipadang lan di Makkodo-Simbuang.
103. Balluku’ lan di Batu Tandung – Mamasa.
104. Masanga lan di Pana’ – Mamasa.
105. Marrang Bulaan la di Mala’bo – Mamasa.
106. Sanggalangi lan di Pantilang
107. Parassean lan di Karre.
108. Tali Barani lan di Bokin
109. Pong Sussang lan di Ke’pe’- Ranteballa.
110. Emba Bulaan lan di Sikapa-Ranteballa
111. Arrang Bulawanna lan di lemo – Ranteballa.
112. To Ipajaoan lan di Kande Api – Ranteballa.
113. Puang ri Renge lan di Tabang – Ranteballa.
114. Bakokang lan di Lantio – Ranteballa.
115. To Layuk lan di Baroko – Duri.
116. To Kalu’ lan di Endekan.
117. Pakabantunna lan di Sesean.
118. Ne’ Bulu Tedong lan di Pangala’.
119. Ne’ Tulla’ lan di Ke’pe’
120. Pong Padondan lan di Tikala
121. Bangkelekila’ lan di Akung.

      Pada rampomi tama padang di Sarira, pada umpokadami tindo bonginna, pada ussalumi mamma’ karoenna. Misa’ tindo napotindo, misa’ mamma’ na pomama’. Digantinnamo To Pada Tindo, digente’mi to sitinti pangimpi. La dimaparongkami kombong kalua’ illan padang di Sarira, la dipammakmi tumimbu malambe’ illan Pata’padang.
Dilando lalannmi bainna Pong Manapa’ lako Se’seng dilangla palaunnmi bonde’na Datu Muane lan di Ledo, disanga pokki diganti mendelo-delo. Diosokmi batu titanan tallu, di patunnangmi tarongko tirundu lalikan. Dipa’to’mi panampo to Lambun, dipatunannangmi pa’kombong to Padangiring, dipandanmi langan, dibato’mi karumpengan ao’; disembangmi bane’ situang bombang sumomba mata allo diti’pa’mi lako situang daun sumomba lu rekke. Napoballaran ampa’ pokki’ lan padang di Sarira, naporantean tuyu mendelo-delo lan Pata’padang.
Dipabendannmi Banggai lanmai Salu ussuru’ kanan kairinna pokki’, tuladanmi to dipodatu muane lan mai Garatuan ussara’ka’ tingayo boko’na mendelo-delo. Bendanmi Patangbunga’ lan mai Tadongkon unnumbu’ passoanbangi’, tulangdanmi to dipodatu muane umparra pangulu makati’; bendanmi Pong Sanggoi Limbu ma’timpolak maa’, tulangda’mi Pong Kaluak lan mai Randan Batu unnambe’ pesangle lebani’, bendanmi Ne’ Tikuali lan mai padang Ba’tan unnindo’ kapuran pangan, tulangda’mi to dipodatu muane unnambe’ pelambaran bolu.
Ditobokmi makairinna pokki’, disumbelimi tang mabekona mendelo-delo. Ditimbakmi pa’dunna pokki’ dadi batu, dikillangmi paina’ mendelo-delo kombong buku padang. Randukmi dipopentoean manda’ la untulak Buntunna Bone, tipamulami dipopennanti matoto’ la ullangda’ to Sendana Bonga . Diindo’mi basse kasalle, diambe’mi panda dipamaoson, disanga:”BASSE DIPAMATUA LANGI’ PANDA DIPAMATUA TANA”. Kalebu tallangmi kombong kalua’ lan padang di Sarira, membuloala’mi tumimbu malambe’ lan Pata’padang kumua:”MISA’ KADA DIPOTUO, PANTAN KADA DIPOMATE, ROKKO MI TANG MARATOI BOMBONG, DIONG MI TANG TU’PE DAUNNA”. Apa denki’ manii ma’dua takin, dengki manii masselle’ patomali la untengkai kalo’i te basse kasalle, la ullenda pasale umai te panda dipamaroson; la dipamamma’ rokko lambananna Ambe’na Bu’tu Bulaan to tang makapanikuan.”
Randukmi dipabendan dama’ lan padang do Sesean dipetulangdanmi lan padang di Sado’ko’, dipatunannangmi lan padang di Gasing; dipamillikmi mata to buta anna di e’te’ lima to sekong.
Dirambi bombonganmi Aru Pute sola sambo Boko’na, dipatu’pe daunnami Ma’ria Manda’ sola rinding tingayona. Ka’tumi angin di pudukna Aru Pute sola sambo boko’na, tepokmi passararonganna Ra’ria Manda’ sola rinding tingayona. Lu mokkonmi lalanna sesana bala’kayan raa’ langan padang di Bone, tumetemi pa’gulinganna ra’dakna lempan pa’ealian langan to Sendana Bongan tallupi palo-palo.
Randukmi tang sisele’ Lepongan Bulan anna to Sendana Bonga, tipamulami sisaranga’ Matari’ Allo anna padang di Bone. Tontongmi sitanda eali masae lako sitanda musu. Apa kaluangan ia batu ba’tengna Kadere’ illan di Duri, apa masinggung ia pasiruan Amang lan di Rumadan. Umpokole kombami batang dikalena langan padang di Bone, umpobembang parayoanmi tondon di batangna tama Lepongan Bulan. Umpatuka’ pa’inaan la undasi’ pokana pindan, umpasolo’ pa’ba’tengan la umpasilasuk la’tona komba bulaan. Umpatuangka’mi bate lentekna to dipolondongna kada lan mai padang di Bone, umpatirimba dukami passoeanna to di pomanuk mueanena pumpuran pau-pau lan mai lili’na Lepongan Bulan

     Pada rampomi lan padang di Malua’, diosokmi tumimbu malambe’ illan padang di Rumedan. Kelebu tanllangmi Kombong Kalua’ la mamma’ rokko pindan tang damma, memun bulo ala’mi tumimbu malambe’ la tibambang rokko gori-gori tang beluakan. La sule sangkutu’ banne, la tibalik sang buke amboran. Dipamarongkami Kombong Kalua’ illan padang di Bambapuang, dipamamakmi tumimbu malambe’ illan pintu deata. Ditananmi basse kasalle, disusukmi panda diparoson; ditanan dipamatua langi’, lolang. Ditananmi basse kasalle. Diosokmi panda dipamaroson disanga: ”BASSE SANGLENTENAN TALLO’, PANDA SANGSORONGAN PINDAN”.
Bendanmi Ne’ Tikuali lan mai Ba’tan unnindo’ basse kasalle, tulangdanmi to dipodatu muane unnambe’ panda dipamaroson. La ditanda tasikmi pinda tang bamma’ Buntunna Bone anna Lepongan Bulan; la ditoding minangaimo gori-gori tang beluakna to Sendana Bonga anna Matari’ Allo. Dirokmi sokko sangbali unnindo’ basee kasalle, dikua: ”IA NADEN UNTENGKAI KALO’ BASSE KASALLE, IA NADEN ULLENDA PASALA UMA PANDA DIPAMAROSON , IA NATEMME’ TANDUK SOKKO ROKKO LA’TANA PADANG IA NASEROK TANDUK TARANGGA LAKO MATALLO MATAMPU”. Ditutungmi bangkaan pu’pu’ lan tangana tondok ke den ullenda pasala uma panda dipamoroson Dirodo susu baine dikua:”Anna tang memmimi’ ke den untengkai kalo’ basse kasalle, ke den ullenda pasala uma panda di pamaroson”.
Ditundanmi basse dipaturuan guntu’ diruyanganmi panda dipamaroso. Disusukmi buku rapona Pakila’ Allo, ditananmi bamban tang mabekona Ambe’na Bu’tu Bulaan, dikua:
”Ia naden ussandak salu basse kasalle, ia naden ussobu mata kalambanan panda dipamaroson la umpolalan lalanna Pakila’ Allo to pasisurung lindo alukna, la umpamalamban lambanna Ambe’na Bu’tu Bulaan to tang mekasangka’ tp tang mekapanikun”. 
Dipopa’indo’mi basse kasalle langan Bone, dipopa’ambe’mi panda dipamaroson tama Lepongan Bulan. Dilenten tallo’ langan Bone tang tumba tiapa, disorong pindan tama Lepoangan Bulan tang bamba tang beluakan. Tontongmi dianna batu silambi’ masae lako do dandan karangan siratuan.

Catatan:
1. Dikutip dari buku: Aluk Rambu Solo’ , Kepemimpinan tradisional oleh D Panginan. (Penyempurnaan nama-nama anggota To Pada Tindo oleh para Tokoh Adat yang berhimpun di Tangmentoe yang mengikuti Simposium Manusia Toraja tanggal 1-3 Juni 1983).
2. Menurut Naskah Aluk Silau’ Eran yang ditulis oleh D. Palinggi, jumlah To Pada Tindo mencapai 134 orang. Kemungkinan penambahan terjadi ketika perang mulai berlangsung

Keturunan Nabi Ibrahim di Latimojong

Berikut kesimpulan sementara dari saudara-saudara kita dari wilayah Bugis Makassar tentang asal usul penduduk di wilayah Latimojong.

(1). Penduduk Latimojong yg meliputi 2 Kab di Toraja, Pantilang, Enrekang Utara, Kalumpang, Ronngkong dan sekitarnya adalah keturunan Nabi Ibarahim yang bermigrasi ribuan tahun sebelum Masehi.
(2). Menolak klaim sepihak dari orang Melayu Malaysia bhw mereka adalah satu2 nya keturunan Nabi Ibrahim dari Istri yg bernama Ketura dan lebih mengakui bhw keturunan Nabi Ibrahim dari Istri yg bernama Ketura tersebut adalah penghuni pertama yg mendiami Latimojong jaman dulu.
(3). Memasuki abad 9 - 13, secara bertahap datang sekelompok keturunan Nabi Muhammad dari garis Sayidin Ali. Keturunan Nabi Muhammad bersama Kaum Sufi si Latimojong dalam rangka untuk mencari keturunan Nabi Ibrahim yang telah lebih dulu datang kesana ribuan tahun silam. Selain itu, gelombang penyebaran keluarga Nabi Muhammad dari garis Sayidin Ali ini, meninggal Madina keran mendapat tekanan dari kelompok penguasa jaman itu yg dipimpin oleh seorang Khalifah penggati Nabi Muhammad.
(4). Keturunan Nabi Muhammad yg datang bersama kaumSufi ini oleh penduduk setempat di gelari sebagai To Manurung. Artinya orang yg datangmem bawa NUR (cahaaya ilahi).
(5). Puang Lakipadada adalah salah satu dari rumpun keturunan Nabi Muhammad yg datang ke Latimojong dan bermukin disebuah tempat yang sampai sekarang ini diseebut Su'pi'. Awalnya nama kampung ini adalah Kampung Sufi, namun karena pengaruh dialek setempat, maka berubah menjadi Kampung Su'pi'. Itulah sebab nya para Puang di Tallu Lembang na selalu mengaku berasal dari Sufi' di Simbuang Mengkendek.
(6) Kelompok kaum Sufi dan keturunan Nabi Muhammad yang bermukim di Sufi', Malimongan, Sinaji dan daerah sekitar nya kemudian menyebakan ajaran baru tentang Hari Kemudian yg dalam bahasa Makassar disebut "Sallang". Hal ini didukung oleh sejarah tutur di daerah Kaluppini - Enrekang utara tentang kedatangan To Manurung yang mereka sebut Guru Sellang (Guru Sallang) dan Puang Palipada.
(7). Dengan demikian, dapatlah di mengerti alasan2 para Raja di Sulsel untuk selalu Menikah dengan salah satu Putri dari Toraja pada setiap periode tertentu. Tujuan nya adalah untuk memurnikan kembali ttitisan 2 darah nabi yg ada di dalam diri mereka sebagai legitimasi langit atas kekuasaan yang mereka emban.

http://jaringangin1.blogspot.com/2014/02/keturunan-nabi-ibrahim-di-latimojong.html

NEK MATANDUNG/SAKKA (PUANG BALUSU), SANG GARDA DEPAN, Pahlawan Tana Toraja Yang Dilupakan


NEK MATANDUNG/SAKKA (PUANG BALUSU), SANG GARDA DEPAN

Balusu adalah sebuah daerah di bagian utara dari kota Rantepao. Nek Matandung adalah nama tokoh pemimpin lokal dari daerah ini. Nek Matandung berperan besar dlm peristiwa masuknya Tentara Belanda (Marsose) ke Toraja. Bersama para pemimpin lokal berbagai daerah di toraja pada September 1905, beliau menghadiri pertemuan "Buntu Pune", pertemuan persiapan menghadapi agresi belanda ke toraja, dgn menghasilkan "Ikrar Buntu Pune", dan Nek Matandung ditetapkan sbg pemimpin Garda depan untuk membendung serangan +/- 150 tentara belanda di bawah Komando Kapten Infantri Killian. Pertempuran berhenti dgn ditawannya seorg anak menantu Nek matandung oleh belanda dan pasukan belanda dgn mudah menuju Rantepao.
Keterlibatan Nek Matandung dalam perencanaan membunuh Controleur Belanda, Brower atau Kepala pemerintahan hindia Belanda di wilayah Oderafdeling Rantepao didasari oleh kecongkakan dan keserakahan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi. Wujud nyata keserakahan Belanda pada saat itu adalah mewajibkan penduduk lokal membayar pajak dan megatur adat istiadat atau kebiasan masyarakat pribumi dengan berbagai alasan. Taktik Belanda saat itu adalah mengangkat dan memunjuk para pimpinan lokal sebagai kepala distrik untuk memudahkan rencana mereka dalam memperluas daerah jajahannya. Namun hal ini tentu menimbulkan kebencian dan kedengkian di mata masyarakat lokal termasuk Ne' Matandung sebagai penguasa Balusu ketika itu.

Pada tahun 1917 berhimpunlah para pemimpin penguasa lokal di toraja untuk merencanakan pembunuhan terhadap kaum penjajah. "Untendanni Salu Sa'dan" adalah sebuah semboyan atau kata sandi mereka. Target utama dalam rencana pembunuhan itu adalah Controleur Brower.

Rencana pembunhan terhadap Brower itu tertunda karna para pejuang tidak ingin melibatkan istri brower yg dlm keadaan hamil. Kekhawatiran mereka adalah ketika Brower dibunuh didepan istrinya maka istrinyapun akan ikut tewas, dan hal demikian pantang bagi pejuang Toraja ketika itu.

Tertundanya pembunuhan terhadap Controleur Brower mengakibatkan lahirnya peristiwa bori 1917 dimana Sang Misionaris Antoni Aris Van De Loosdrecht tewas ditangan pejuang Toraja. Pembunuhan terhadap sang misionaris itu bukanlah karna Nek Matandung dan kawan kawan menolak Injil, namun pembunuhan itu terjadi hanya karna semata mata A. A Van de Loosdrecht adalah orang Belanda atau Mata putih. Shg dpt dikatakan peristiwa itu terjadi karna prajurit di lapangan tdk bisa membedakan setiap orang belanda dan targetnya membunuh belanda.

Kematian Van De Loosdrecht dipolitisasi oleh pihak Belanda dan menyebarkan Issue bahwa mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu disebabkan karna mereka menolak Injil.
Semenjak itu para pemimpin lokal khususnya Nek Matandung sbg penguasa Balusu terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekalipun dengan persenjataan yang jauh lebih sederhana. Namun sayang perlawanan itu tidak berlangsung lama hingga Nek Matandung dan 23 pejuang lain ditangkap dan diasingkan ke Nusa Kambangan, Jawa Tengah dan Tanah Merah (Bovendigul) Papua.

Sangat Ironis bila hingga hari ini doktrin dari pihak penjajah masih menjadi pegangan dan pedoman bagi masyarakat toraja hingga melupakan jasa para pejuang toraja sendiri. Jasa mereka seakan terkubur bersama dengan raganya akibat dogma bangsa penjajah yang telah membius sebagian masyarakat toraja.

Jangan lupakan jasa mereka sekalipun di tangannya bersimbah darah sang Misionaris pengabar Injil karna dibalik pembunuhan itu tersimpan sebuah cita cita yang mulia yaitu untuk mempertahankan keutuhan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo

http://jaringangin1.blogspot.com/2014/02/nek-matandungsakka-puang-balusu-sang.html

SAWERIGADING DI BUKIT KANDORA


Versi lisan Sawerigading di Kandora, Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja (selanjutnya akan disebut dalam versi Toraja)pada dasarnya banyak persamaannya dendan sebuh episode petualangan Sawerigading dalam buku I Laga Ligo, kumpulan terjemahan Dr.R.A.Kern (selanjutnya akan disebut saja “versi bugis”).
Adapun perbedaannya yang penting antara lain seperti berikut ini. Puang Pindakati dalam versi Toraja dikatakan adalah anak bangsawan di Biduk didaerah gunung Latimojong sebelah timur, kawin dengan Puang Sawerigading saudara sepupuh sekalinya juga, cucu Tomanurung Batara Guru di Luwu. Puang Pindakati meninggal dunia pada masa ia hamil muda. Dalam versi Bugis dikatakan bahwa  We Pinrakati itu adalah anak Tenriakkoreng (ayah) dengan We Tenrijellok (ibu), cucu Batara Wewang. Dalam keterangan R.A.Kern dijelaskan juga bahwa We Pinrakati itu adalah putri raja Malaka, tetapi tidak begitu jelas apakah Tenriakkoreng adalah raja Malaka yang dimaksudkan itu. Tunangan We Pinrakati dalam versi Bugis bukan Sawerigading, tetapi La Tenriweppi Datunna Sunra. Selanjutnya We Pinrakati meninggal dunia waktu orang baru saja menyampaikan mas kawinnya, tiga hari sebelum perkawinannya.
Dalam versi Toraja, Sawerigading pergi ke Puya karena rindunya pada Pindakati kekasih dan istrinya yang pertama, sedang dalam versi Bugis dikatakan bahwa ia kesana karena disuruh bepergian oleh orang tuanya untuk menghindari upacara pentabisan We Tenriabeng (saudara kembarnya) menjadi bissu. Dalam perjalanannya itulah ia sampai ke Pamessareng (dunia orang mati) dan bertemu dengan We Pinrakati. Dalam versi Bugis dikatakan bahwa Sawerigading berpisah dengan We Pinrakati di dunia Pamessarang, sesudah memamah sekapur sirih pemberian We Pinrakati, sedangkan dalam versi Toraja diceritakan tentang perjalanan mereka pulang ke dunia, lalu Pindakati bersalin diperbatasan Puya (dunia orang mati) dengan dunia, melahirkan seorang bayi wanita yang diberi nama “Jamallomo” (artinya,  yang lahir dari ibu yang telah meninggal dunia; mallomo artinya ‘menjelma’). Jamallomo dalam versi Toraja dikatakan bahwa ia kemudian kawin dengan Puang Samang, cucu Tomanurung Puang Tamborolangi’ di Kandora dan melahirkan anak-anak yang menjadi leluhur pemimpin adat di daerah Tallu Lembangna (Makale-Sangalla-Mengkendek), dan di daerah Tallu Batupapan (Alla’-Malua’-Buntu Batu) di Enrekang.

http://jaringangin1.blogspot.com/2014/02

BUKIT KANDORA

I. PENDAHULUAN


Daerah sekitar bukit Kandora, Mengkendek, Tana Toraja adalah satu tempat yang mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah budaya suku Toraja. Sejarah Budaya suku Toraja menceritakan pada kita bahwa daerah ini beberapa kali menjadi pusat kediaman salah seorang dari antara ketua atau pimpinan tertinggi adat setempat. Tandilino Tobanua Puan, pemimpin dan leluhur sebahagian terbesar pemimpin adat tertinggi dahulu kala di Tana Toraja, berkedudukan di Sarimbano, Marinding, tiada berapa berapa jauh dari kaki bukit tersebut. Di Sarimbano, Marinding inilah tempat dibangun dan didirikan untuk pertama kalinya sebuah rumah “tongkonan” ‘rumah adat’, dalam sejarah budaya setempat terkenal dengan nama “ramba titodo”, tongkonan hampir semua pimpinan adat 40 orang jumlahnya waktu itu. Dalam tradisi setempat keempat puluh orang pimpinan adat setempat itu disebut “Arruan Patang Pulo” (artinya ‘ empat puluh daerah adat dengan pimpinan tertinggi bergelar arruan; pimpinan-pimpinan itu terkenal juga dengan gelar “ampu lembang” ‘yang empunya daerah’, atau “pararra’ “, suatu nama yang mengingatkan kita pada gelar para “pararaka” di Jawa Tengah dahulu kala.

Selanjutnya, sejarah datangnya arus pendatang baru ke daerah ini dengan pimpinan bergelar ”manurun di langi’ “ ‘yang turun dari langit’, menceriterakan antara lain bahwa Puang Tamborolangi’ bersama adik kandungnya bernama Karaeng Kasumba, datang ke daerah ini dan mendirikan istananya di kaki bukit Kandora tersebut. Sampai kini ditunjukkan orang bekas-bekas kediaman “menurun di langi’ ” tersebut di kaki bukit Kandora.

Di samping peristiwa tersebut di atas itu, daerah sekitar bukit Kandora tersebut dikenal juga sebagai daerah yang beradat-istiadat Sawerigading. Penghuni daerah ini sampai dengan akhir perang dunia kedua, setiap hari menghubungkan seluruh tindakannya dengan penghormatan kepada seorang “puang abadi” yang bergelar “Puang Parranan” (artinya ‘raja pelindung sepanjang masa’). Puang Parranan tersebut menurut tradisi setempat, adalah istri pertama Sawerigading, yang menjadi batu dan disimpan sampai kini di atas sebuah rumah ‘tongkonan’ di tengah desa Tengan di kaki bukit Kandora. Tampuk pimpinan desa itu sejak dari dahulu berada dalam tangan keturunan “Puang Jamallomo”, anak Sawerigading dengan puang Parranan tersebut.

Seluruh gerak gerik dalam pergaulan sehari-hari di desa ini tiada dapat dipisahkan dari penghormatan kepada batu suci penjelmaan istri Sawerigading tersebut. Membawa air dari sumur atau pancuran dalam bumbung bambu, harus dengan sikap mendahulukan mulut bumbung bambu ke arah persemayaman Puang Parranan tersebut. Memikul air dalam bumbung bambu dengan mengarahkan pangkal bumbung ke tempat kediaman Puang Parranan, di desa ini adalah tidak sopan dan akan mndapat tulah dari leluhur mulia dan keramat itu. Dahulu kala bila seseorang bergelar puang dari Makale, Sangngalla’, dan Mengkendek menginjakkan kaki di desa ini, harus mengeluarkan kasutnya bila ia dalam keadaan barkasut, turun dari atas punggung kudanya bila ia menunggang kuda, membuka topinya bila ia bertopi dan yang paling utama ialah pantang disapa dengan gelar ” puang” sementara ia berada dalam desa ini, karena ia harus tunduk kepada satu-satunya “puang” di dalam desa ini ialah Puang Parranan tersebut.

Satu diantara tradisi yang menarik dari penghuni desa ini ialah upacara syukuran “merok” terkenal dengan sebutan “merok Sawerigading”. Tradisi ini berbeda dengan upacara “merok” yang berlaku umum di seluruh Tana Toraja. Upacara merok yang berlaku umum di Tana Toraja acaranya dilaksanakan berhari-hari, bahkan harus didahului oleh acara-acara tertentu yang dilaksanakan setahun dua kali atau lebih sebelumnya. Upacara”merok Sawerigading” tersebut acaranya dilakukan hanya sehari semalam saja, tanpa didahului acara-acara lainnnya. Upacara ini dilaksanakan dengan mempersembahkan seekor kerbau hitam, putih bulu ujung ekornya, putih warna kuku kedua kaki belakangnya. dalam bahasa Toraja kerbau seperti itu disebut “tedong samara”. Upacara itu dipusatkan pada kediaman Puang Parranan tersebut. Dalam melaksanakan upacara itu, beberapa buah batu keramat yang bergelar “Puang Parranan penjelmaan “Puang Pindakati, istri pertama Sawerigading tersebut, diturunkan dari atas rumah, lalu dimandikan dan diberi pakaian baru (maksudnya diberi bungkusan yang baru). Persembahan, dalam bahasa toraja disebut “pesung” diletakkan oleh petugas di depan rumah kediaman Puang Parranan, di depan 3 buah batu. Sebuah dari batu itu berbentuk seekor angsa yang sedang duduk menengadah ke langit. Duah buah yang lain terletak bersusun dalam bentuk lingga-yoni, lambang kekuasaan dan kesuburan, semacam phallus cultus. Upacara “merok sawerigading” tersebut dimeriahkan dengan tari-tarian kesukaan seperti : ma’gellu’, ma’gandang, ma’nimbong dan ma’bugi’ yang dilaksanakan pada malam menduhului upacara. Sepanjang malam itu juga, ‘tominaa’ ‘ahli dan petugas’ upacara menyanyikan hymne “passomba tedong”, pujaan pada kerbau’. Versi lisan Sawerigading diceritakan malam itu juga.

II. MASALAH

Sampai dewasa ini prasejarah Indonesia terbatas pada beberapa peristiwa sejarah yang terjadi di Sumatra, Jawa, Bali. Prasejarah diluar ketiga pulau itu, antara lain prasejarah Sulawesi Selatan, belum banyak mandapat perhatian ahli sejarah. Cyclus 1 La Galigo menurut R.A Kern adalah sebuah mythos suku Bugis yang mengandung data sejarah suku Bugis di daerah-daerah Sulawesi Selatan /Tengah/Tenggara, bahkan juga sampai ke daerah Maluku dan Nusa Tenggara dan daerah lain. Tetapi siapakah sebenarnya Sawerigading itu ? Apakah ia hanya semacam personifikasi petualangan suku Bugis dahulu kala ke seluruh pelosok Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan kedaerah lain-lain, ataukah ia benar-benar seorang bangsawan makdara takku ‘murni’ pendiri sebuah kerajaan tertua di daerah Luwu? “Dan di manakah letaknya pusat kerajaan Luwu itu karena orang Wotu menjelaskan bahwa merekalah orang luwu asli. Kota Wotu adalah pusat kerajaan Luwu dahulu kala menurut mereka. Mereka menunjukkan sebidang tanah di tengah-tengah kota Wotu sekarang ini sebagai bekas tempat istana raja Luwu yang pertama. Sebatang pohon kayu, dalam bahasa Wotu disebut pohon ‘tamalilu’ ‘kenangan abadi’, tumbuh dipinggir bekas pusat kerajaan itu, dikatakan sudah berumur ratusan tahun, sebab ditanam sendiri oleh Sawerigading sebelum berangkat ke tanah Cina. Menurut keterangan, di seluruh daerah Wotu tidak ditemukan pohon ‘tamalilu’ selain yang ditanam oleh Sawerigading itu.

Selanjutnya, apakah versi lisan sawerigading di Kandora, Mengkendek, Tana Toraja itu, hanyalah sebuah mythos pula yang menunjukkan semacam pengaruh suku atau budaya suku Bugis di daerah ini ? Sudah jelas versi lisan Sawerigading di Tana Toraja tersebut adalah sebuah mythos yang memuat data-data sejarah lokal. Jamallomo, anak Sawerigading adalah “pangngala tondok” ‘pendiri desa’ Kandora. tradisi dalam desa Kandora tersebut menunjukkan titik peralihan dari sejarah kekuasaan ‘tomakaka’ (semacam ‘Urdemokratie’) kepada kekuasaan “kapuangan” (semacam ‘Arstokratie’) di daerah Makale, Tana Toraja dan di daerah Duri. Enrekang dahulu kala Pemimpin daerah Tallu Lembangna (Makale, Sangngalla,Mengkendek) di TanaToraja, dan daerah Tallu Batupapan (Alla’, Malua’, Buntubatu) di Duri. Enrekang dahulu kala menganggap dirinya keturunan Puang Pindakati (dalam cyclus Bugis disebut We Pinrakati) di Kandora, Tana Toraja tersebut. Versi lisan Sawerigading di Kandora Tana Toraja itu bagaimanapun juga menunjukkan hubungan prasejarah Tana Toraja dengan prasejarah suku Bugis dahulu kala.

Bagaimanapun juga dengan budaya suku Toraja dan budaya suku Bugis ? Adakah hubungan dan prasejarah antara kedua budaya itu dahulu kala ? Bahasa Makassar, Bugis, Mandar, Toraja oleh Roger Mills dikatakan berasal dari satu bahasa induk dahulu kala yang disebutnya “Proto South Sulawesi Language”. Lalu bagaimana dengan budaya Sulawesi Selatan dahuu kala? Adakah juga hubungan dan persamaan antara budaya Makassar, Bugis, Mandar, Toraja dahulu kala ? Versi lisan Sawerigading Tana Toraja tersebut menunjukkan beberapa aspek kesamaan budaya Bugis Toraja dahulu kala, antara lain tentang kepercayaan terhadap kehidupan sesudah kematian yang menjadi inti versi lisan Sawerigading Tana Toraja itu dan ditemukan dalam versi Bugis pada bahagian yang menceritakan perjalanan Sawerigading ke dunia arwah, disebut dalam versi Bugis “Laona Sawerigading Mammusuk ri Pamasareng”, ‘Sawerigading mengunjungi dan memerangi dunia arwah’. Bahagian cyclus 1 La Galigo versi Bugis tersebut menunjukkan persejajaran antara kepercayaan suku Toraja dan suku Bugis dahulu kala terhadap alam arwah orang mati yang disebut “pamasareng” dalam bahasa Bugis dan dalam bahasa Toraja tersebut “puya”. Kepercayaan inilah yang menjadi latarbelakang pemotongan hewa, terutama kerbau, pada upacara penguburan jenazah orang mati di Tana Toraja yang menarik minat turis berbondong-bondong berkunjung ke daerah Tana Toraja akhit-akhir ini.

III. TUJUAN

Penelitian ini berusaha mengungkapkan sekelumit prasejarah suku Toraja, khususnya sejarah “pangngala tondok”, ‘pendiri desa yang pertama’ dahulu kala di daerah ini, antara lain pendiri desa Kandora di Kecamatan Mengkendek tana Toraja yang diceritakan dalam versi lisan Sawerigading Tana Toraja tersebut.

Selanjutnya, tulisan ini berusaha mengungkapkan beberapa aspek sosioreligio-kultural versi lisan Sawerigading Tana Toraja tersebut, antara lain dan terutama tentang kepercayaan suku Toraja terhadap “puya”, ‘dunia arwah’. Pokok pikiran orang Toraja yang melatar belakangi kepercayaan mereka terhadap alam arwah itu dapat juga ditemukan dalam “kada toma’kayo” ‘mada petugas upacara kematian’ pada mengantarkan arwah jenazah orang mati ke dunia puya tersebut, dan juga dalm “badong ossoran” ‘mada dukacita’ yang dilagukan pada upacara kematian di daerah ini.

Oleh FRANS SOSANG P,S.Sos
http://jaringangin1.blogspot.com/2014/02/sejarah-bukit-kandora-di-tengan.html

Asal Nenek Moyang Suku Pamona (Sulawesi)

Di Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku yang mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku Pamona disebut juga dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso tidak ada, yang ada hanyalah wilayah Poso yang didiami oleh sebagian besar suku Pamona.


Selain di Poso, suku Pamona juga mendiami wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, sebagian wilayah Kabupaten Morowali, bahkan provinsi Sulawesi Selatan yakni di wilayah Luwu Timur. Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia.

Nenek Moyang Suku Pamona berasal dari dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena berada di atas gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mereka diturunkan oleh Macoa Bawalipu mendekati pusat pemerintahan, yaitu di sekitaran wilayah Mangkutana (luwu Timur).

Hingga terjadinya pemberontakan DI/TII, mereka menyebar sampai ke Sulawesi Tengah dan daerah lainnya. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan berbagai kegiatan di daerah tersebut.

Asal kata Pamona diambil dari nama bukit bernama Pamona di Tentena, suatu desa di pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena banyak ditumbuhi pohon Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah tersebut diberi nama Raha Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon Pamona. Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini besar hingga meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso.

Suku Pamona memiliki lembaga adat. Keberadaan lembaga Adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua, yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu.

Suku Pamona menggunakan Bahasa Pamona (Bare'e) dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Bahasa ini juga kadang disebut dengan Bahasa Poso, yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Indonesia. Pamona hanya memiliki ragam bahasa lisan saja, tidak memiliki ragam tulisan atau aksara.

Meskipun suku Pamona memiliki bebebarapa subsuku seperti suku Wingkendano, Onda'e, Pebato, Lage, Lamusu, dan sebagainya, tetapi bahasa yang digunakan sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada intonasi setiap kata yang digunakan. Bahasa Pamona juga mengenal strata dalam penuturan dengan tingkat kesopanan Namun secara umum, masing-masing subsuku dapat mengerti satu sama lain ketika bercakap-cakap.

Suku Pamona sebagian besar menganut agama Kristen. Agama ini masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Dalam hal kebudayaan, suku Pamona masih mempertahankannya. Ada dua kebudayaan yang masih dilestarikan, yaitu adat perkawinan dan syukuran setelah masa panen. Dalam adat perkawinannya, diatur mahar yang mesti ditanggung oleh mempelai pria.

Dalam adat ini juga ada tradisi gotong royong atau membantu dalam perkawinan yang disebut dengan Posintuwu. Bantuan yang diberikan berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi bila saat berlangsung pernikahan.

Sementara ucapan syukur setelah panen disebut dengan Padungku. Setelah panen masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta (Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Walaupun masyarakat di sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.

Ada lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah tersebut disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang belulang, diadakan upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang tersebut ke gua-gua).

Dalam hal kesenian, masyarakat Pamona memiliki tarian tradisional bernama tarian Dero atau Madero. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria.

Menurut iramanya, madero dibedakan atas tiga macam gerakan yakni ende ntonggola, ditarikan saat menyambut bulan purnama. Kedua, ende ngkoyoe ditarikan saat mengantar panen atau perayaan hari besar atau pesta. Sedangkan yang ketiga ende ada untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan.

Seperti halnya dengan suku-suku lain seperti Batak, Toraja dan lainnya, suku Pamona juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah. Misalnya marga Torau, Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji, Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak lagi.

sumber: http://jaringangin1.blogspot.com/2014/02/asal-nenek-moyang-suku-pamona.html