Baginya, menulis novel tak boleh terganggu interupsi. Tidak boleh terganggu oleh pekerjaan lainnya, atau gangguan mikirin biaya penerbitan, godaan dapur ngebu’ atau gangguan yang bersifat mendasar. Menulis fiksi memerlukan konsentrasi yang dalam dan terfokus. Tidak seperti menulis tidak tugas lain. Pekerjaan menulis novel/fiksi memerlukan waktu tanpa gangguan apa pun, sehingga apa yang dikerjakan akan rampung sesuai target dibarengi kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena alasan itukah barangkali, sastrawan kelahiran Rembang, 25 April 1937 ini terhenti sejenak menulis novel. Dan Ini dapat dirasakan lebih dari dua dasawarsa terakhir, blantika sastra nasional tak diramaikan oleh karya pengarang novel Olenka yang ia tulis tahun 1983, yang sempat menyabet Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983) dan Hadiah Sastra ASEAN (1984). Selain itu, ia menerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1993), Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI, dan Ahmad Bakrie dari Freedom Institute (2005). Karya-karyanya juga banyak dijadikan bahan seminar, penelitian dan tesis di perguruan tinggi.
Kendati sastrawan yang dikenal sangat rendah hati, santun, disiplin dan kritis ini belum lagi menulis novel, namun pada hari-hari kehidupannya banyak tertantang oleh kesibukan. Tugas mengajar dan membimbing mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Surabaya , diskusi, ceramah dan menulis esei. Mantan Rektor IKIP Surabaya ini juga pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi lain di Indonesia. Menjadi profesor tamu di National Institute of Education Nanyang Technological, University, Singapura, serta Northern Territory University , Darwin , Australia . Ia juga menjadi editor buku South East Asean Literature yang diterbitkan Sekretariat ASEAN.
Ia menjadi kurator antologi cerpen pengarang Jawa Timur, yang diterbitkan dalam rangka Festival Seni Surabaya tahun lalu. Bahkan ia pun menjadi narasumber para penulis muda. Doktor sastra lulusan Indiana University, Amerika Serikat ini, mengatakan, menulis fiksi banyak dikendalikan oleh mood. Fiksi juga ada hubungannya dengan momentum, niat dan ide. Ide sebenarnya banyak, kalau sudah muncul, ada momentum dan bisa menulis tanpa interupsi. Semua gagasan yang terpendam akan muncul secara otomatis. Seperti halnya ketika ia menulis ‘Olenka’ saat belajar di Indiana, Amerika Serikat, dan menulis Rafilus, pada waktu melakukan penelitian di Inggris.
Dia menyambut hangat terbitnya karya novel akhir-akhir ini diterbitkan dalam jumlah yang ‘bejibun’, hal itu dipandang dapat meningkatkan budaya baca masyarakatIndonesia . Akan tetapi menurutnya, penerbitan tersebut masih baru bisa dibilang kuantitas. Hal itu baik. Meskipun demikian masih harus ada sastra yang serius dan idealis. Yakni sastra yang tidak perlu dibaca masyarakat secara luas, tetapi mempunyai daya jangkau pemikiran yang berdimensi masa depan.
Menurutnya yang menggerakan dunia bukan massa, melainkan pemikir-pemikir yang jumlahnya sedikit namun berpengaruh. Demikian pula dunia sastra. Apa yang terjadi di dunia buku bacaan saat ini dipandang Budi Darma sebagai kecenderungan budaya pop, saat selera masyarakat terus berubah. Banyak buku yang terbit menjadi popular, namun cepat tenggelam. Industri perbukuan mengalami segmentasi Semisal ada buku untuk anak-anak, remaja, dewasa serta pelbagai genre untuk memenuhi selera masyarakat. Dengan adanya segmentasi, pengarang dipacu untuk terus menerus menulis, tanpa sempat merenung dan melakukan pengendapan. Pengarang cenderung ‘kejar tayang’ ada target untuk menyelesaikan dan menerbitkan novel dalam jangka waktu tertentu.
Sastrawan yang pernah dipercaya mendidik penulis berbakat dari Indonesia, Malaysia dan Brunei dalam program Majelis Sastra Asia Tenggara ini, menikah dengan Sitaresmi, dikaruniai 3 orang anak, Diana, Guritno dan Hananto Widodo.
sumber: http://www.tamanismailmarzuki.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan