Sejarah dan Kebudayaan Gowa A. SEJARAH DAN ASAL USUL GOWA 1. Asal Usul Nama Gowa Nama Gowa hingga saat ini belum diketahui pasti asal usulnya, mengingat belum ada sebuah buku lontarak pun yang menerangkannya, hanya saja ada beberapa pendapat dari ahli sejarah seperti Ahmad Makka Rausu Amansya Daeng Ngilau, mengemukakan bawah nama Gowa mungkin sekali berasal dari kata “GOARI” yang berarti “kamar atau bilik”. Kemudian Prof. Mattulada menerangkan makna kata Gaori itu berarti “Penghimpunan” ke dalam suatu tempat atau ruangan. Biasanya penghimpunan sejumlah (pemimpin) kaum secara bersama-sama menyatukan diri dalam suatu persekutuan teritorial. Menurut Andi Ijo Karaeng, nama Gowa sebenarnya berasal dari perkataan ‘Gua” yang berarti “liang” di mana sekitar tempat Hulah ditemukan hadirnya Tumanurunga sebutan. Lahirnya penyebutan Gowa sebagai nama kerajaan, mungkin juga tidak terlepas dari sejarah pengangkatan Tumanurunga menjadi raja Gowa pertama. Diriwayatkan pada masa sebelum hadir Tumanurunga di butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (Bondgenoot) atau pemerintahan gabungan (Federasi) di bawah penguasaan Paccailaya (ketua dewan hakim pemisah). Kesembilan Kasuwiang disebut juga Kasuwiang Salapanga atau “Sembilan kelompok kaum” yang mewakili masing-masing dalam persekutuan itu ialah : 1. Kasuwiang Tombolo 2. Kasuwiang Lakiung 3. Kasuwiang Samata 4. Kasuwiang Parang-parang 5. Kasuwiang Data 6. Kasuwiang Agang Je’ne 7. Kasuwiang Bisei 8. Kasuwiang Kailing 9. Kasuwiang Sero Kondisi tanah Gowa masa sebelum hadirnya Tumanurunga senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Jeneberang. Oleh karena itu diperlukanlah seorang pemimpin yang berwibawa untuk mengatasinya. Diriwayatkan terdengarlah berita oleh Paccallaya bahwa ada seorang putri yang turun dari atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Orang-orang yang berada di Bontobiraeng melihat sesuatu di sebelah utara seberkas cahaya di atas, bergerak perlahan-lahan turun ke bawah ternyata menuju Taka’bassia tepatnya persis di atas sebuah bongkahan batu perbukita. Gallarang mangasa dan tombolok yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum dalam persekutuan Butta Gowa. Paccailaya bersama kesembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur. Serta merta dari cahaya menjelma wujud manusia, seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan kasuwiang salapanga dan paccallaya tak mengetahui nama dari puteri ratu tersebut sehingga diberi nama “Tumarunung Bainea” atau Tumarununga yang artinya orang (wanita) yang menjelma yang turun dari atas dan tidak diketahui asal usulnya. Paccallaya dan kasuwiang salapangan kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga raja, dan memberitahukan kepada oragn-orang yang berperang agar menghentikan pertempuran. Paccallaya kemudian mendekati Tumanurunga dan bersembah “Sombangku!” (Tuanku) kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan sombakulah yang merajai kami”. Permohonan Paccallaya pun dikabulkan oleh Tumanurunga dan berseru kepada orang banyak yang hadir di tempat itu, “Sombai karaengnu tu Gowa!” (sembahlah rajamu hai orang Gowa), maka gemuruhlah orang banyak “Sombangku”. Mungkin sejak itulah bermula nama Gowa dipergunakan secara resmi sebagai sebutan bagi kerajaan Gowa. 2. Sejarah Ringkas Gowa Masa sebelum kemerdekaan Berdasarkan bukti sejarah, maka dapat dipastikan bahwa sejarah Indonesia sebenarnya harus dibagi tiga periode sebelum terbentuknya Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu. Pertama, periode Sriwijaya di Palembang, Kedua Majapahit di Jawa Timur dan Ketiga Gowa di Sulawesi Selatan. Ketiga kerajaan dalam periode masing-masing memiliki pengaruh dan kekuasaan yang lebih luas dari seluruh kerajaan yang pernah ada di tanah air. Kerajaan Gowa dari Kawasan Timur di abad VI-XVII menguasai dua pertiga nusantara. Kapan waktu permulaan lahirnya Kerajaan Gowa dan kemudian menjadi imperium tersebut, sampai kini belum diketahui pasti buku lontarak sendiri yang merupakan sumber utama tentang hal itu terlalu ringkas menerangkannya. Dalam lontarak hanya dikemukakan, bahwa sebelum Gowa diperintah seorang putri yang dinamakan Tumanurunga, ada empat raja sebelumnya pernah mengendalikan Gowa purba berturut-turut yaitu : 1. Batara Guru 2. Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali, tidak diketahui nama aslinya. 3. Ratu Sapu atau Marancai 4. Karaeng Katangka, yang nama aslinya juga tidak diketahui. Dari mana asal keempat raja tersebut, dan bagaimana cara pemerintahannya tidak diketahui pula, tetapi mungkin pada zaman mereka pula Gowa purba terdiri dari sembilan negeri dan mungkin juga lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Sesudah pemerintahan Karaeng Katangka, maka sembilan kerjaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan Federasi yang diketuai seorang pejabat disebut Paccallaya yang diangkat kalangan mereka. Kesembilan kerajaan yang tergabung itulah yang disebut Kasuwirang Salapanga. Sebagaimana digambarkan dalam uraian asal usul Gowa di atas, jelaskan tonggak peristiwa sejarah yang menandai terbentuknya kerajaan Gowa secara resmi adalah dimulai ketika kehadiran Tumanurunga di Taka’bassia Tamalate berdasarkan atas perjanjian pemerintahan (Government Contract) antara Tumanurunga dengan sembilan Kasuwiang yang terjadi kira-kira tahun 1300 sesuai kesepakatan antara Tumanurunga dengan kesembilan Kasuwiang itu, dinyatakan berdirinya sebuah kerajaan berdasarkan kesediaan kesembilan Kasuwiang menyerahkan daerahnya masing-masing dan tunduk di bawah pemerintahan Tumanurunga sebagai “Somba Ri Gowa” (Raja Gowa) yang sekaligus merupakan simbol persatuan seluruh orang Makassar pada saat itu. Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Sejak itu pemerintahan di bawah Tumanurung, pemerintahan berlangsung aman tanpa ada lagi bentrok fisik. Diriwayatkan bahwa raja Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, seorang pendatang yang tidak diketahui asal muasal dan negerinya, hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama seorang temannya bernama Lakipadada. Dari perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang menjadi raja Gowa kedua (1345-1370) setelah pemerintahan ibunya. Diriwayatkan bahwa sejak raja Gowa pertama hingga raja Gowa VIII Pakere’-Tau Tunijallo dipusatkan di Tamalate ialah tempatnya dibangun istana Raja Gowa pertama dan merupakan ibu kota pertama kerajaan Gowa sebelum berpindah ke Somba Opu. Masa Sesudah Kemerdekaan Pada awal dicetuskannya Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, yang menandai gabungan seluruh daerah nusantara ke dalam negara kesatuan, rakyat Gowa tetap tampil berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Daerah Gowa merupakan basis utama gerakan seperti Lipang Bajeng, Macan Putih (Macan Keboka) dan Harimau Indonesia, beserta pangkalan tokoh-tokoh seperti Wolter Menginsidi, Emmi Saelan dan Ranggong Daeng ROmo. Hal yang patut diketahui lebih jauh adalah reorganisasi pemerintahan Gowa sesudah Kemerdekaan di zaman NIT (Negara Indonesia Timur) ketika Raja Gowa XXXVI, Andi Ijo Karaeng Lalolang Putera I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo (Raja Gowa XXXV) dilantik pada tanggal 25 April 1947, walaupun pengangkatannya disahkan pemerintahan Belanda pada September 1946. Sejarah pemerintah Gowa mengalami perubahan sesuai dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Setelah NIT dibubarkan dan berlaku sistem pemerintahan parlementer berdasarkan UUD 1950, dan lebih khusus memenuhi Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1957, maka daerah Swapraja yang bergabung dalam Onderafdeling Kabupaten Makassar dibubarkan. Kemudian pada tahun 1971, Gowa terpaksa dihadapkan kepada suatu pilihan yang sulit ditolak atas PP No. 51/1971 tentang perluasan wilayah Kota Madya Ujung Pandang sebagai ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan PP tersebut Gowa akhirnya menyerahkan sebagian wilayahnya, yaitu kecamatan Panakukang dan Kecamatan Tamalate, beserta Desa Barombong (sebelumnya adalah salah satu desa dari kecamatan Pallangga). Jumlah seluruhnya 10 desa yang dialihkan masuk dalam wilayah administratif Kota Madya Ujung Pandang B. LEGENDA OBJEK-OBJEK WISATA 1. Wisata Sejarah a. Benteng Somba Opu Benteng Samba Opu kini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa yang terletak di pesisir pantai pada sebelah utaram timur dan selatan, dikelilingi oleh Sungai Jeneberang, sedang pada sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar. Di dalam lokasi itu telah dibangun rumah adat dari 23 kabupaten di Sulawesi Selatan yang beraneka ragam bentuknya sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama "Taman Miniatur Sulawesi". Di Benteng Somba Opu ini setiap tahunnya diadakan Pekan Kebudayaan yang memamerkan hasil-hasil pembangunan setiap daerah di Sul-Sel. Di Benteng Somba Opu ini pula pada abad ke XV lalu mempunyai sejarah sebagai tonggak kejayaan Gowa di masa lampau. b. Benteng Kebesaran Gowa Semasa Pemerintahan Tumanurunga di Tamalate (Gowa) sampai dengan masa Pemerintahan Raja Gowa VII "I Pakerektau" dengan gelar anumertanya 'Tunijallokri Passuki", di Kerajaan Gowa belum dikenal adanya benteng. Pada masa Pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisikallonna sebagai pembaharu di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan, maka pada masa itulah benteng-benteng pertahanan Gowa mulai dibangun walaupun terbuat dari tanah liat. Berita tentang Somba Opu telah diperoleh keterangan baik dari Lontarak kerjaan maupun berita asing (Portugis, Belanda). Kedua sumber tersebut menyebutkan bahwa Benteng Somba Opu didirikan atas perintah Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisi Kallona. Bagindalah sebagai peletak dasar pembangunan Kastel (Benteng) Somba Opu dan mendirikan dawala di sekelilingnya dari tanah liat. Sejalan dengan berkembangnya pelayaran, perdagangan, di seputar Kepulauan Asia Tenggara, di semua pantai-pantai strategis bermunculan kota dan pelabuhan niaga mendorong Somba Opu menjadi salah satu kota dagang rempah-rempah di wilayah belahan Indonesia Timur. Akibat jatuhnya Malaka pada tahun 1511 dan mundurnya bandar niaga di Jawa, para pedagang mengalihkan perhatiannya ke kota Benteng Somba Opu. Mereka berdatangan dan menetap di tempat itu. c. Ballak Lompoa Ri Gowa Latar belakang Sejarah Ballak Lompoa ri Gowa dibangun sejak tahun 1936 setelah diangkat Raja Gowa XXXV, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Dengan dibangunnya Balla Lompoa sebagai tempat kediaman sekaligus juga sebagai pusat pemerintahan kerjaan Gowa. Sebelum Ballak Lompoa dibangun sudah ada tempat kegiatan untuk melaksanakan pemerintahan Kerajaan Gowa yakni kantor kontrolir onderafdeling yang berlokasi tidak jauh dari Ballak Lompoa dengan diantarai Lapangan Bungaya, tepatnya di lokasi bekas Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II (yang lama). Setelah Raja Gowa XXXV wafat dalam tahun 1946, maka dia digantikan oleh putranya yang bernama Audi Ijo Daeng Mattawang, Karaeng Lalolang menjadi Raja Gowa terakhir yakni ke-36. Sebelum jadi raja, Andi Ijo pernah mendampingi ayahnya dalam pemerintahan dengan jabatan Tumailalang (Jabatan inti di bawahraja). Nilai Religius Di samping punya nilai historis, Balla Lompo juga mempunyai nilai religius yang berpedoman pada falsafah hidup manusia. Bahwa masyarakat Gowa memiliki pandangan kosmologis dan berpikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila antara makrokosmos dan mikrokosmos senantiasa terjalin hubungan harmonis. Nilai religius lainnya adalah adanya pandangan bahwa alam raya dari tiga susun, yakni dunia atas, tengah, dan bawah. Hal ini dalam bentuk rumah adat Makassar yang terdiri dari tiga bagian yakni pada bagian atas rumah disebut loteng (Pammakkang), bagian tengah merupakan badan rumah (Kale Balla) dan pada bagian bawah rumah disebut kolom rumah (siring). Cerak Kalompoang Accera Kalompoang/Gaukang yakni upacara pencucian benda-benda kebesaran/pusaka, utamanya benda dari Kerajaan Gowa yang dilaksanakan bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Acara ini dimulai sejak masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin. Menurut kepercayaan orang-orang Makassar dahulu, bilamana benda-benda kerajaan telah selesai dicuci timbangannya berkurang berarti akan ada malapetaka yang akan menimpa negerinya, atau tidak mendatangkan keberhasilan, tapi sebaliknya bila benda itu dicuci timbangannya lebih berat dari semula, pertanda akan dapat mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat. Balla lompo kini menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Gowa yang ternyata menarik perhatian. Terbukti dengan banyaknya arus dari berbagai klasifikasi, yakni berupa tamu negara, manca negara, pejabat/dinas, siswa/mahasiswa, peneliti dan umum, setiap tahunnya terus bertambah. d. Ballak lompoa Ri Bajeng Semenjak Karaeng Loe menginjakkkan kakinya di Bajeng dan berkuasa sebagai Raja Bajeng pada abad ke-15, maka pada saat itu pula Karaeng Loe memerintahkan rakyatnya untuk' membangun sebuah istana di Bajeng yang nantinya akan dijadikan sebagai pusat kerajaan Bajeng dalam menjalankan roda pemerintahan. Pembuatan Balla Lompoa di Bajeng pada masa lalu bahan kayunya diambil dari Pa’bentengan sebagai sumbangan dari Karaeng Majolong karena di Pa’bentengan dulunya terdapat banyak kayu berkualitas tinggi, sedangkan atap nipanya ditanggung oleh orang-orang Bajeng yang berada di Balosi (Maros). Sebagai tanda bahwa rumah tersebut adalah istana kerajaan, kita dapat melihat dari “Sambulayang” (atap bagian depan bangunannya), kalau orang bajeng menyebutnya “timba sila” Timba sila raja terdiri dari 5 susun, sama halnya dengan Balla Lompoa di Gowa. Itulah perbedaan dengan rumah rakyat biasa, yang timba silanya hanya sekitar dua atau tiga susun saja. e. Bungung Barania Ri Bajeng Pada abad ke-15 ada seorang raja yang berkuasa di Bantaeng bernama Karaeng Loe yang sangat disenangi oleh rakyatnya. Menurut riwayat, Karaeng Loe ini mulanya menjadi raja di Bantaeng kemudian memperluas wilayahnya sampai ke Polong Bankeng (Takalar) dan akhirnya pindah lagi kerajaannya ke daerah Bajeng. Di Bajeng, Karaeng Loe dan pengikutnya melakukan perjalanan yang akhirnya sampai di suatu perkampungan namanya Kampung "Mata Allo". Di tempat itu, Karaeng Loe dan pengikutnya merasa kehausan, sedang sumber air tidak ada. Karaeng Loe mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa agar tongkat yang dipegangnya itu ditancapkan ke tanah sehingga membentuk sebuah lobang besar, dan dari lubang itu keluar sumber air. Setelah Karaeng Loe dan pengikutnya minum dan mandi dari air sumur itu, tiba-tiba timbul dalam dirinya perasaan keberanian dan keperkasaan yang sebelumnya tidak dimiliki. Semangat untuk berperang kian berkobar pada setiap prajurit yang pernah meminum air sumur tersebut. Maka saat itu pula, sumur itu diberi nama "Bungung Barania" artinya minum dan mandi air sumur itu, akan timbul keberanian. 2. Wisata Budaya a. Tari-tarian Keyakinan masyarakat Gowa pada masa lampau bergantung pada alam gaib atau alam tak nyata. Karena itu tari merupakan alat untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Tari-tarian khas dari Gowa ini beraneka ragam jenisnya, antara lain : 1. Tari Pakkarena Suatu tarian adat dari kerajaan Gowa. Dahulu kala selalu ditarikan oleh putri bangsawan pada setiap peristiwa atau upacara-upacara penting dalam lingkungan istana sebagai pemujaan atas dewa-dewa. 2. Tari Bosarak Melukiskan tara cara tradisional dalam menyambut tamu agung pada pesta perkawinan. 3. Tari Anging Mamirik Lamunan seorang gadis yang ditinggalkan kekasihnya kemudian ia dihibur oleh dua orang teman karibnya. 4. Tari Rapang Bulang Melukiskan gadis-gadis yang sedang bergembira ria menghibur diri karena mereka sedang merindukan kekasihnya yang pergi mengarungi samudera. 5. Tari di Ujung Badik Suatu kisah tentang harga diri (sirik) di mana seorang putri bangsawan telah melanggar adat karena mencintai jejaka yang tidak sederajat dengannya (ata). Penyelesaian di Ujung Badik dengan pertumpahan darah telah meluap pada suatu ketika demi karena sirik dan kecintaan. 6. Tari Pakurruk Sumangak 7. Tari Makjekne-jekne 8. Tari kipas 9. Tari Takontu 10. Tari Jangan Lea-lea b. Alat Musik Tradisional 1. Seruling 2. Basing-basing 3. Puik-puik 4. Sikunru 5. Genggong 6. Tendong-tendong 7. Ganrang Bulo 8. Kacaping 9. Kere-kere Gallang 10. Ganrang (gendang) 11. Gong c. Pakaian adat 1. Baju Bodo : baju tanpa lengan 2. Lipa’ Sabbe 3. Jas 4. Passapu 5. Songkok Guru 6. Jempang 7. Salawik 8. Pallawang 9. Ponto 10. p 11. Tokeng 12. Subang 13. Simatiyak 14. Ponto Naga 15. Songkok Nicappai, dll d. Benda-benda Peninggalan Sejarah Kerajaan Gowa 1. Salokoa (Mahkota) Terbuat dari bahan emas murni dan beberapa butiran permata berlian dan lain-lain. 2. Ponto Janga-jangaya Terbuat dari emas murni dengan berat seluruhnya 958,5 gram. 3. Tamadokkaya Tamadokkaya adalah jenis mata tombak, bisa dipergunakan sebagai senjata sakti pada masa kerajaan Gowa. 4. I jingnga I jingnga adalah jenis mata tombak dari besi hitam, berukir emas berfungsi sebagai senjata sakti pada masa kerajaan Gowa. 5. Ibukle Ibukle adalah jenis mata tombak sebagai anak sumpit dari besi hitam. 6. Lasippo e. Wisata Alam Malino 1. Passanggrahan Malino 2. Air Terjun 3. Kawasan Hutan Pinus 4. Perkebunan Markisa Danau Mawang Danau Mawang yang berlokasi di Kelurahan Romangloe Kab. Gowa (dekat Perum Kertas Gowa) Daftar Nama Raja - raja Gowa | 1. Tumanurunga (+ 1300) 2. Tumassalangga Baraya 3. Puang Loe Lembang 4. I Tuniatabanri 5. Karampang ri Gowa 6. Tunatangka Lopi (+ 1400) 7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna 8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki 9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16) 10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) 11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte 12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590). 13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593). 14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1] 15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681. 1. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna 18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709) 20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711) 21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi 22. I Manrabbia Sultan Najamuddin 23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735) 24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742) 25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753) 26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795) 27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769) 28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778) 29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810) 30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825) 31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826) 32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893) 33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895) 34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2] 35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946) 36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.[2]
sumber: http://gowa-negeri1001cerita.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan