kumpulan nada dari tetesan air
satu-satu jatuh ke hamparan dunia
satu-satu jatuh ke hamparan dunia
nyayian hujan bermakna rindu
sering bermakna bahagia
sering bermakna bahagia
sembari memberi kehidupan
alam
setiap tetes membawa makna
setiap tetes membawa makna
tak terucap tapi tersirat
suatu rasa hati yang lara
merindu makna bahagia
suatu rasa hati yang lara
merindu makna bahagia
nyanyian hujan di bawah
malam
membawa nada-nada bersama angin
menyampaikan pesan kehidupan
penuh keabadian melompati waktu
membawa nada-nada bersama angin
menyampaikan pesan kehidupan
penuh keabadian melompati waktu
(cibubur – 02/10/2014)
Puisi. Kata itu
begitu menyerap, seringkali diletakkan pada tempat paling terhormat di antara
deretan jenis karya sastra lainnya, tetapi juga jamak didapati mengisi rak
paling sepi di hampir seluruh toko buku. Kenyataan seperti itu seringkali menimbulkan
pertanyaan yang diawali dengan kata ‘Mengapa’ di setiap pembahasan mengenai
puisi –yang tak pernah berujung meski berpangkal—dilakukan. Sama seperti
jatuhnya kata ‘Mengapa’ tersebut, kata itu pula yang mendatangi saya ketika
penyair Riri Satria menyuguhkan ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Sebelum menekuri
isi dari puisi yang disuguhkan, judul yang digunakan penyair Riri Satria ini
sudah cukup memanggil-manggil untuk dimengerti lebih dekat, lebih dalam, dan
tak sekedar ditonton hanya sebagai satu mahkota di taman bunga saja. Ada ‘keindahan
yang indah’ dalam judul puisi tersebut; Hujan yang selalu bernyanyi, dan Malam
yang selalu agung sehingga senantiasa menaungi.
‘Mengapa’ hujan
selalu bernyanyi dan diasosiasikan dengan kata itu? Bukankah hujan itu berasa
asin seperti airmata, dingin serupa wajah kaku yang menyimpan amarah, dan
datang bertubi-tubi seperti pukulan yang tidak akan berhenti jika belum mencapai
titik keletihan? Apakah hujan selalu bernyanyi dan tidak pernah menangis untuk
menyampaikan kesedihannya?
Pertanyaan terakhir
di atas akan mengingatkan kita dengan pertanyaan yang hampir sama, mengenai
kicau burung yang sering pula disebut ‘nyanyian’. Bukankah tidak semua nyanyian
menggambarkan kesenangan dan kebahagiaan hati, tetapi juga bisa melukiskan
kesedihan, kemarahan, kegundahan, dan kecemasan yang disuguhkan dengan keindahan
bahasa, nada dan irama? Dan ketika burung-burung itu ingin menyampaikan
kegundahan, kesedihan, kemarahan, dan kecemasannya, mereka akan tetap
bernyanyi, tetap membahasakannya dengan indah serupa puisi.
Tanpa banyak
berdebat, pertanyaan demi pertanyaan yang muncul setelah judul puisi penyair
Riri Satria memantik kita seolah mengantarkan kita pada salah satu simpulan
bahwa itulah ‘Puisi’; nyanyian bahasa yang disampaikan dengan indah meski
keindahannya tak selalu seindah kenyataan yang hendak disuarakan.
Sejatinya simpul
dan simpulan bukanlah akhir dari segala sesuatu, sebab itu sebagaimana tanda
titik yang menjadi ujung kalimat tidak mengharamkan kita untuk menulis kalimat
berikutnya. Begitu pun ketika kita membuat sebuah simpul dari sebagian judul
puisi penyair Riri Satria dan masih menyisakan bagian lain yang bisa kita jadikan
sebagai lautan yang dapat diselami untuk ke dua kali, tentang malam yang selalu
menaungi dalam rangkaian utuh judu ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Hanyakah Nyanyian
Hujan yang berada di bawah Malam, ataukah segala sesuatu di alam semesta ini
berada di bawahnya? Jika kita menyusuri malam yang luasnya tak terbandingkan
hanya dengan kata ‘siang’ yang kita rasakan di setengah permukaan bumi, tetapi
jauh lebih luas dan menyentuh malamnya seluruh jagad raya, maka kita akan
mengerti dan paham bahwa malam merupakan selimut yang utuh melingkupi segala ‘isi
jagad semesta’, seperti lingkaran tali membola yang begitu sempurna sehingga
kita tak pernah mengetahui di manakah ujung dan pangkalnya; lalu setelah itu
kita juga menyadari bahwa alam semesta; bumi, matahari dan segala isinya berada
di dalamnya; ternaungi tanpa sedikit pun yang bisa melarikan diri darinya
karena malam berada di kanan dan di kiri kita; di atas dan di bawah kita; di
barat, di timur, di utara, di selatan, dan bahkan di mana pun arah yang tidak
bernama. Lantas mengapa penyair Riri Satria hanya menggunakan ungkapan ‘Di
Bawah Malam’ yang secara sederhana berarti bahwa malamlah yang selalu berada di
atas dan tidak ada malam yang berada di bawah ‘Hujan’?
Sepertinya tidak
seperti itu makna yang sedang disuguhkan penyair ini. Beliau telah menyuguhkan
kata dalam bahasa puisinya yang tidak dangkal, namun begitu dalam hingga menyentuh
batas-batas hakiki, sama seperti ketika kita berusaha memahami apakah Tuhan
yang menaungi kita adalah Tuhan yang hanya duduk manis di singgasana langit dan
bukan Tuhan yang ‘ternyata’ berada pula di dasar bumi sebagai tempat yang
sering kita anggap sebagai paling rendah di seluruh alam semesta; yang dekat
tak tersentuh dan jauh namun melekat? Ataukah malam yang dimaksud penyair ini
merupakan malam yang utuh, malam yang serupa tali membola, seperti sujud yang
terlihat secara kasat mata merendahkan kening namun dalam kesejatiannya justru
meninggikan derajat seseorang di mata Tuhannya?
Sepertinya, malam
semacam itu pula yang dimaksudkan penyair Riri Satria dalam puisinya kali ini. Malam
yang utuh; malam yang menaungi sekaligus menopang; malam yang gelap dan
menyembunyikan ‘Nyanyian Hujan’ yang harus dibaca. Meminjam kalimat penyair Djawahir
Muhamad dalam salah satu puisinya bahwa ‘cahaya menunjukan kedatangan’, maka
pembaca pun membutuhkan cahaya itu; cahaya yang akan memberi petunjuk tentang
bagaimana memaknai Nyanyian Hujan penyair Riri Satria; cahaya yang akan menguak
gelapnya malam yang menaungi nada dan irama Hujan-Hujannya. Dan cahaya itu,
adalah KATA dalam deret-baris ‘isi’ puisi sang penyair Riri Satria itu sendiri.
Salam. (AS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan