Jumat, 28 November 2014

Membaca "NYANYIAN HUJAN DI BAWAH MALAM", karya Penyair Riri Satria

apa yang terdengar dari nyanyian hujan?
kumpulan nada dari tetesan air
satu-satu jatuh ke hamparan dunia
nyayian hujan bermakna rindu
sering bermakna bahagia
sembari memberi kehidupan alam
setiap tetes membawa makna
tak terucap tapi tersirat
suatu rasa hati yang lara 
merindu makna bahagia
nyanyian hujan di bawah malam
membawa nada-nada bersama angin
menyampaikan pesan kehidupan
penuh keabadian melompati waktu
(cibubur – 02/10/2014)

Puisi. Kata itu begitu menyerap, seringkali diletakkan pada tempat paling terhormat di antara deretan jenis karya sastra lainnya, tetapi juga jamak didapati mengisi rak paling sepi di hampir seluruh toko buku. Kenyataan seperti itu seringkali menimbulkan pertanyaan yang diawali dengan kata ‘Mengapa’ di setiap pembahasan mengenai puisi –yang tak pernah berujung meski berpangkal—dilakukan. Sama seperti jatuhnya kata ‘Mengapa’ tersebut, kata itu pula yang mendatangi saya ketika penyair Riri Satria menyuguhkan ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Sebelum menekuri isi dari puisi yang disuguhkan, judul yang digunakan penyair Riri Satria ini sudah cukup memanggil-manggil untuk dimengerti lebih dekat, lebih dalam, dan tak sekedar ditonton hanya sebagai satu mahkota di taman bunga saja. Ada ‘keindahan yang indah’ dalam judul puisi tersebut; Hujan yang selalu bernyanyi, dan Malam yang selalu agung sehingga senantiasa menaungi.
‘Mengapa’ hujan selalu bernyanyi dan diasosiasikan dengan kata itu? Bukankah hujan itu berasa asin seperti airmata, dingin serupa wajah kaku yang menyimpan amarah, dan datang bertubi-tubi seperti pukulan yang tidak akan berhenti jika belum mencapai titik keletihan? Apakah hujan selalu bernyanyi dan tidak pernah menangis untuk menyampaikan kesedihannya?
Pertanyaan terakhir di atas akan mengingatkan kita dengan pertanyaan yang hampir sama, mengenai kicau burung yang sering pula disebut ‘nyanyian’. Bukankah tidak semua nyanyian menggambarkan kesenangan dan kebahagiaan hati, tetapi juga bisa melukiskan kesedihan, kemarahan, kegundahan, dan kecemasan yang disuguhkan dengan keindahan bahasa, nada dan irama? Dan ketika burung-burung itu ingin menyampaikan kegundahan, kesedihan, kemarahan, dan kecemasannya, mereka akan tetap bernyanyi, tetap membahasakannya dengan indah serupa puisi.
Tanpa banyak berdebat, pertanyaan demi pertanyaan yang muncul setelah judul puisi penyair Riri Satria memantik kita seolah mengantarkan kita pada salah satu simpulan bahwa itulah ‘Puisi’; nyanyian bahasa yang disampaikan dengan indah meski keindahannya tak selalu seindah kenyataan yang hendak disuarakan.
Sejatinya simpul dan simpulan bukanlah akhir dari segala sesuatu, sebab itu sebagaimana tanda titik yang menjadi ujung kalimat tidak mengharamkan kita untuk menulis kalimat berikutnya. Begitu pun ketika kita membuat sebuah simpul dari sebagian judul puisi penyair Riri Satria dan masih menyisakan bagian lain yang bisa kita jadikan sebagai lautan yang dapat diselami untuk ke dua kali, tentang malam yang selalu menaungi dalam rangkaian utuh judu ‘Nyanyian Hujan Di Bawah Malam’.
Hanyakah Nyanyian Hujan yang berada di bawah Malam, ataukah segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawahnya? Jika kita menyusuri malam yang luasnya tak terbandingkan hanya dengan kata ‘siang’ yang kita rasakan di setengah permukaan bumi, tetapi jauh lebih luas dan menyentuh malamnya seluruh jagad raya, maka kita akan mengerti dan paham bahwa malam merupakan selimut yang utuh melingkupi segala ‘isi jagad semesta’, seperti lingkaran tali membola yang begitu sempurna sehingga kita tak pernah mengetahui di manakah ujung dan pangkalnya; lalu setelah itu kita juga menyadari bahwa alam semesta; bumi, matahari dan segala isinya berada di dalamnya; ternaungi tanpa sedikit pun yang bisa melarikan diri darinya karena malam berada di kanan dan di kiri kita; di atas dan di bawah kita; di barat, di timur, di utara, di selatan, dan bahkan di mana pun arah yang tidak bernama. Lantas mengapa penyair Riri Satria hanya menggunakan ungkapan ‘Di Bawah Malam’ yang secara sederhana berarti bahwa malamlah yang selalu berada di atas dan tidak ada malam yang berada di bawah ‘Hujan’?
Sepertinya tidak seperti itu makna yang sedang disuguhkan penyair ini. Beliau telah menyuguhkan kata dalam bahasa puisinya yang tidak dangkal, namun begitu dalam hingga menyentuh batas-batas hakiki, sama seperti ketika kita berusaha memahami apakah Tuhan yang menaungi kita adalah Tuhan yang hanya duduk manis di singgasana langit dan bukan Tuhan yang ‘ternyata’ berada pula di dasar bumi sebagai tempat yang sering kita anggap sebagai paling rendah di seluruh alam semesta; yang dekat tak tersentuh dan jauh namun melekat? Ataukah malam yang dimaksud penyair ini merupakan malam yang utuh, malam yang serupa tali membola, seperti sujud yang terlihat secara kasat mata merendahkan kening namun dalam kesejatiannya justru meninggikan derajat seseorang di mata Tuhannya?
Sepertinya, malam semacam itu pula yang dimaksudkan penyair Riri Satria dalam puisinya kali ini. Malam yang utuh; malam yang menaungi sekaligus menopang; malam yang gelap dan menyembunyikan ‘Nyanyian Hujan’ yang harus dibaca. Meminjam kalimat penyair Djawahir Muhamad dalam salah satu puisinya bahwa ‘cahaya menunjukan kedatangan’, maka pembaca pun membutuhkan cahaya itu; cahaya yang akan memberi petunjuk tentang bagaimana memaknai Nyanyian Hujan penyair Riri Satria; cahaya yang akan menguak gelapnya malam yang menaungi nada dan irama Hujan-Hujannya. Dan cahaya itu, adalah KATA dalam deret-baris ‘isi’ puisi sang penyair Riri Satria itu sendiri.
Salam. (AS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan