Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal,[2]sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores [3] yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores,[4] dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao [5][6] yang disebut sebagai penghasil kayu cendana.[7] Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara.[8] dengan raja pertama bernama Lorenzo I [9]
Permulaan[sunting | sunting sumber]
Permulaan[sunting | sunting sumber]
Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis meninggalkan Solor dan menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi. Pada tahun 1613, Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka juga. Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu cendana dari Timor dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India Company (VOC).
Ritus[sunting | sunting sumber]
Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.
Legenda[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaanWehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.[10] Bunda Maria.[11] Karena terdapat sebuah arca (patung) Tuan Ma yang diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria.[11] Menurut cerita legenda Resiona (seorang penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.[11] Konon, tujuan orang Portugis membawa Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katolik.[11]
sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan