Merantau sudah menjadi kebiasaan kebanyakan orang Makassar, sejak dulu sampai sekarang. Selain dikenal sebagai perantau, orang Makassar juga sangat dikenal sebagai pelaut ulung.
Ada sebuah Kebiasaan yang dipegang oleh masyarakat Makassar yang juga sudah menjadi adat para orang tua ketika melepas anaknya pergi merantau. Ketika seorang anak telah memutuskan berangkat merantau, para orang tua tidak membekali anak-anaknya dengan uang ataupun harta benda sebagai bekal. Tapi cukup dengan 3 ujung atau dalam bahasa Makassar disebut: TALLU CAPPA’.
Apa itu Tallu Cappa’?
Dalam pappasang to riolo (pesan para leluhur) dikatakan: “Nia tallu cappa’ bokonna to lampaiyya, iyamintu: Cappa’ lila, Cappa’ laso, Cappa’ badi’. (Ada tiga ujung yang harus menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik).
“Oe ana’… a’ngu’rangiko, nia’ antu tallu cappa nuerang (Duhai, anak, ingatlah selalu, ada tiga ujung yang harus kau bawa sebagai bekal) Kalo dikampungnya ko orang jaga baik-baik tiga ujung itu. Kau akan jadi untung atau merugi, tergantung bagaimana kau berperilaku dengan tiga ujung yang kau bawa.”
Tiga ujung yang menjadi bekal setiap orang Makassar ini sepintas terkesan vulgar dan sadis. Namun pada hakikatnya tidak demikian. Perantau Makassar dibekali dalam dirinya tiga ‘alat’ yaitu: lidahnya, kemaluannya, dan badiknya.
Lidah dan kemaluan sudah ada sejak lahir, sementara badik adalah diri kedua yang harus dimiliki setiap laki-laki Makassar saat mereka sudah baligh. Sampai pada pembahasan ini, dalam budaya Makassar dikenal pesan: “Teyai bura'ne punna tena na ammallaki badik” (Bukan laki-laki jika tidak memiliki badik), yang sering bersamanya, minimal ada tersimpan di rumahnya, miliknya.
Merantau bagi manusia Makassar berarti penaklukan, adaptasi, atau paling rendah bertahan di negeri orang dengan hidup tidak direndahkan. Tallu Cappa adalah tahapan dalam proses penaklukan, adaptasi atau bertahan tersebut. Dalam situasi apapun, ketiga ujung ini berperan menurut situasi dan kondisi.
Jika keadaan masih bisa diselesaikan atau dimenangkan dengan cara berucap atau berdiplomasi, sorongi lilanu (sorong lidahmu) dan menangkan hati mereka dengan ucapan santun dan ujaran lembut. Jika ini gagal, sorongi lasonu (sorong kemaluanmu) dengan kata lain kawini putri raja, ketua adat, atau mereka yang berpengaruh di negeri tersebut. Jika ini masih juga gagal, sorongi badi’nu (sorong badikmu), perangi, kuasai atau tundukkan mereka dengan perkelahian (pertempuran).
Budaya Tallu Cappa sangat dikenal di kalangan orang Makassar sebagai falsafah hidup, beriringan dengan budaya siri’ na pacce (rasa malu dan kesetiakawanan) baik di tanah adat sendiri, terlebih di negeri orang. Tallu Cappa digunakan di banyak aspek kehidupan: sosial, politik, maupun ekonomi.
Falsafah Tallu Cappa bukan hanya efektif dalam penyelesaian perkara atau masalah saja, tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga efektif digunakan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Makassar, ujung lidah diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal, baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan ujuang kemaluan, bisa diartikan bahwa dalam mencari jodoh, hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang berpengaruh. Karena dengan demikian orang Makassar berharap memperoleh kedudukan dan peningkatan status sosial di tengah masyarakat.
Sementara ujung badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga harkat dan martabat sebagai orang Makassar yang menjunjung tinggi adat ‘Siri na Pacce’. Sekaligus bila menghadapi permusuhan, maka di sinilah fungsi ujung yang terakhir, sebagai senjata pamungkas dan harga diri sebagai taruhan, keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan catatan bahwa kita dalam posisi yang benar.
Dalam adat Makassar, harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun dengan nyawa sekalipun. Peneliti La Galigo, Prof. Dr. Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat. Orang Makassar di mana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Pangeran Makassar
Sebagai pengingat bagaimana Tallu Cappa itu melekat pada manusia Makassar, kisah heroik tentang seorang Pangeran Makassar bernama I Yandulu Daeng Mangalle adalah salah satu tauladan yang melegenda.
Sebagai salah satu putra dari Sultan Hasanuddin, yang setelah dikalahkan Belanda dan tidak setuju ditandatanganinya Perjanjian Bungaya oleh ayahandanya, Daeng Mangalle pergi ke Siam dan meminta suaka kepada Raja Siam (sekarang Thailand). Permintaan suaka tersebut dikabulkan oleh Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, Daeng Mangalle (Lidah Perancis menyebutnya Daen Ma-Alee) beserta para pengikutnya diberikan tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan.
Namun terjadi konfrontasi politik perebutan kekuasan antar bangsawan Raja Siam ketika itu, yang melibatkan Daeng Mangalle. Singkat cerita, peperangan dahsyat terjadi. Pasukan Makassar yang dipimpin Daeng Mangalle tidak bersedia meminta ampun pada Siam, sehingga ia dan ratusan pengikutnya dihancurkan oleh pasukan Raja. Meskipun tumpas, karena jumlah mereka jauh lebih sedikit ternyata dapat membuat repot ribuan pasukan Siam dan sekutunya Perancis.
Daeng Mangalle gugur. Seorang pendeta Perancis mengabadikan gugurnya Daeng Mangalle bersama prajurit Makassar dalam sebuah catatannya. Menurut sang pendeta keberanian tentara Makassar hampir-hampir tidak masuk di akal.
Pendeta itu menulis, seumur hidupnya, baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Makassar. Saat itu, seorang prajurit Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Perancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi. Seorang tentara Perancis menendang-nendang kepala prajurit Makassar yang tengah menghadapi sekaratul maut itu. Tiba-tiba saja prajurit Makassar itu bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir. “Tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian,” tulis sang pendeta.
Kekaguman Raja Siam terhadap keberanian Daeng Mangalle, menjadikan dua putranya, yakni Daeng Tulolo dan Daeng Ruru, diampuni Raja Siam dan dibawa oleh Kapten tentara Perancis menghadap raja dan menetap di Perancis. Kedua pangeran Makassar itu dikirim ke sekolah akademi elit tentara di Perancis. Daeng Ruru kemudian berganti nama menjadi Louis Pierre de Macassart, sementara Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin. Mereka dibaptis tanggal 7 Maret 1687 oleh uskup kota Le Mans dengan ayah baptis Raja Louis.
sumber: http://majalahversi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan