Senin, 24 November 2014

Hidup Adalah Puisi

Dia adalah Umbu Landu Paranggi—penyair yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, masih terhitung sebagai cucu salah seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1945. Di daerah yang dikenal dengan kuda dan kayu cendananya ini, Umbu adalah sebutan nama depan untuk anak lelaki dan Rambu nama depan untuk wanita, khusus yang berdarah ningrat. Meski lahir di Sumba, Umbu selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. “Yogya pernah membuat saya jatuh hati, rata dengan tanah,” ujarnya.
Lulus SMP, Umbu merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di Taman Siswa, karena terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara. Tapi sayangnya, dia terlambat mendaftar. Akhirnya, dia sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Pada masa-masa SMA itulah “racun” puisi menjalari jiwanya, dan seringkali menelantarkan pelajaran lainnya. Saat itu pula dia menemukan seorang guru yang memengaruhi jalan hidupnya, Ibu Lasiah Sutanto, guru Bahasa Inggris, yang kemudian menjadi Menteri Peranan Wanita Pertama Republik Indonesia.
Setiap kali ada pelajaran Bahasa Inggris, Umbu diam-diam menulis puisi. Umbu pun sering ditegur karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar. Karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya mendesak Ibu Lasiah agar menghukumnya dengan cara membaca puisi di depan kelas. Ibu guru yang bijak itu tidak menghukum Umbu, melainkan menyarankan Umbu agar mengirimkan puisi-puisinya ke koran. Dan jika dimuat, teman-teman kelasnya wajib mengritik puisi-puisinya. Ibu Lasiah kemudian menahan puisi-puisi Umbu di laci mejanya, namun diam-diam membacanya, mungkin penasaran dengan apa yang ditulis Umbu. Sejak itu, Umbu makin rajin menulis puisi dan mengirimkannya ke koran.
“Saat itu saya berpikir Ibu Lasiah menyukai puisi-puisi saya. Itu yang membuat saya tambah semangat menulis puisi. Semestinya saya pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas,” kenangnya.
Setamat SMA, ibunya menyarankan Umbu melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan. Tapi dia menolak dengan alasan lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. Dia kemudian mengambil jurusan Ilmu Sosiatri di Fisipol UGM dan Sosiologi di Universitas Janabadra, namun tak satu pun yang diselesaikannya. (Wayan Sunarta, Jurnal Bali, November 2010)
Selama bermukim di Yogyakarta (1959-1978), Umbu memainkan peran penting dalam pertumbuhan sastra di daerah itu ketika menjadi redaktur sastra pada mingguan “Pelopor” Yogya (1966-1975). Selain mendorong publikasi karya-karya penyair dan penulis pemula di ruang “Persada” pada mingguan tersebut, Umbu bersama tujuh orang temannya antara lain Iman Budi Santoso, Teguh Ranusastra Asmara dan Ragil Suwarna Pragolapati (penyair kelahiran Pati yang konon ‘hilang’ di Gua Langse, pantai Laut Selatan) juga mendirikan kelompok apresiasi sastra Persada Studi Klub (1969). Sementara setelah hijrah ke Bali, Umbu juga melakukan hal yang sama dengan menjadi redaktur ruang “Apresiasi”, halaman khusus sastra di harian Bali Post edisi Minggu yang terbit di Denpasar serta dengan memperkenalkan kegiatan apresiasi sastra keliling daerah dan sekolah, Umbu juga mendorong tumbuhnya bibit-bibit penyair dan sastrawan muda di daerah ini.
Menurutnya, di Pulau Dewata—ia sudah menemukan rahasia bertahan manusia. Lelaki nyentrik yang selalu bertopi dan dikenal sebagai guru dari banyak penyair ini menyebut seluruh semesta raya Bali ada dalam lontar-lontar yang ditulis para pujangga pada masa lalu. ”Lontar itu menyangkut keimanan, sebuah simpul saraf manusia Bali,” katanya (Kompas, 28 November 2009).
Penyair ini selain dikenal nyentrik, misterius dan jarang mau tampil di muka umum, namun muridnya banyak yang berhasil, seperti budayawan Emha Ainun Najib, mendiang Linus Suryadi AG—penyair, dan penyanyi Ebiet G Ade. Berikut ini sajak-sajaknya yang dikutif dari berbagai sumber:
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca, jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
Umbu Landu Paranggi
1965
akoe yang kini jauh di rantau masih kepikiran seorang yang telah melahirkan akoe. mengasuh, mendidik dan menghajarkan bagaimana menghormati ke sesama manusia.
akoe yang jauh di rantau masih kepikiran sosok seorang wonderwomen akoe. tanpa lelah, tanpa mengeluh , dan tiada tempat pengaduan yang bisa dia sandarkan terkecuali air mata.
kini
di sini
di kota ini
akoe ingin mendedikasihkan sebuah puisi untukmu perempuan tua ku
Sajak Kecil (I)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di manapun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
Sajak Kecil (II)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari napasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
Melodia
cintalah yang membuat diriku betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati mengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitar jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu nafas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah rahasia melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di rumah kecil papa, tapi gairah bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Di Sebuah Gereja Gunung
lonceng kecil yang bertalu, memanggil-manggil belainya
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
—berpadu memanjatkan doa dan terima kasih bagi kehidupan
—bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketentraman
—di antara sesama, pada malapetaka yang menimpa dunia ini
—pertikaian peperangan, damailah di sorga di bumi ini: masmur mereka
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta derum oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama
mentari dan bulan yang bersinar di mana pun—
dan tuhan mendengar seru doa mereka
Dari Pura Tanah Lot
inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda
para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku
bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai kebatang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon-lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku
beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
kegunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku
Mantra Pengantar
ucapan melati
dimekarkan matahari
udara bakti
disemburkan matahati
maka para pengisap sezarrah
gelombang lengang
menanam ini sembahyang dialog
sawah ladang
maka adalah cuka duka
lupa luka
jantung hari
bahagia beta
alpa sendiri
bikin bikin puisi
ucapan melati
pergelaran matahari
udara bakti
persembahan matahati
Lagu Tujuh Patah Kata
(ini versi lain dari sajak “DOA”)
sunyi
bekerjalah
kau
bagi
nyawaku
risau
sunyi bekerjalah
kau bagi
nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau
bagi nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau
risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku bagi
kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku
bagi kau
bekerjalah sunyi
risau
nyawaku
bagi
kau
bekerjalah
sunyi
kauku
Solitude
dalam tanganmu sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam
dalam detak-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh bergema
menggigilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian
seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung malang nasibmu
di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi
Upacara XXXIII
jadi kau merasa payah sejatiku
pukul rata tanahlah
baca bacalah aku sejatimu
di liang liang gua tapamu
di sentil-sentil ujung heningmu
jadi sajak bilang apa saja pada kau
jadi buang diri kau
ALHAMDULILLAH begitu rupa kau
jadi pengembara …
Terakhir ini adalah kutipan dari bait ketiga sajak Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi itu mengalun syahdu di gedung Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, setahun silam yang diaransemen oleh empat remaja dari Teater SMU 3 Denpasar menjadi musikalisasi memikat diiringi petikan gitar yang memainkan nada-nadaStairway to Heaven milik kelompok musik Led Zeppelin.
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan
Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda
dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala
Ternyata, catatan ini masih perlu sebuah titik. Baiklah saya tutup dengan kata-kata entah milik siapa, “Aku tidak terharu oleh apa pun dan siapa pun, kecuali pada orang yang bertakwa.”

sumber: kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan