Jumat, 10 Oktober 2014

JAWA DALAM BINGKAI KRITIK SIMBOLIK

Pameran Lukisan
Brayut Family
Oleh M Djoko 'Ki Jenggung' Yuwono

Brayut FamilyLUKISAN tentang Jawa dan satire, inilah dia. Yakni, etnis yang punya sisi acap diagung-agungkan, adiluhung atawa prestisius, yang di sana ada berbagai simbol, terutama saat ada sebuah perhelatan atau momen penting, sebut saja beskap, pakaian yang relatif tidak simpel untuk tidak kita sebut ribet.

Bibit “Jrabang” Waluyo menggelar 13 karyanya di pameran lukis bertajuk Cultuur Tandur di Bentara Budaya, Jakarta, 10-19 Mei 2012, mendedah Jawa dengan caranya sendiri, penuh simbolik.

Brayut Family, salah satu lukisannya, sangat menggelitik; menggambarkan sebuah keluarga yang berpose, berfoto ria. Itu hal biasa, tentu. Lihat, seorang lelaki (bapak) berblangkon lengkap dengan atributnya, didampingi seorang wanita (ibu) berkebaya, wanita dari keluarga “ningrat”, dikelilingi sanak famili keluarga khas Jawa. Biasa saja, termasuk mereka yang berwajah tegang, dan ada yang berpakaian militer. Namun, dari keluarga Jawa itu, ada seorang sesosok ibu (muda) yang asyik menyusui seorang anaknya yang terkecil.

Begitulah, sebuah cara penggambaran keluarga (tempo dulu) yang nyeleneh, tentu. Namun, Jrabang mencoba menggambarkan sebaliknya pada lukisan keluarga lain, dengan tajuk Keluarga Berencana. Potret keluarga itu—berpose, tentu—jauh lebih kontras alias cerah. Tidak tegang, lebih humanis. Lihat, seorang bapak menggendong orok tersenyum lebar saat anak laki-laki menaruh cething (tempat nasi) ke kepala sang bapak. Belum lagi ada kerubutan anak-anak di kakinya. Lalu, si ibu duduk di depan sang suami yang juga dikerubuti empat anaknya.

Barangkali inilah penggambaran kesebalikan dari keluarga ningrat di Brayut Family,kehidupan sosial yang berbeda dalam dua lukisan Jrabang. Pelukis tidak memperolok-olok tradisi Jawa secara wadag berlebihan, cenderung satire, membiarkan penikmat menafsir secara Jawa, yang cenderung tidak meledak-ledak.

Meski Jrabang bisa melukiskan dengan jelas, pengunjung bisa tidak jauh menafsir lukisannya. Misalnya pada lukisan berjudul Tabik, ada tokoh (Jawa) dengan pakaian kebesarannya lengkap keris menyelinap di balik pakaiannya, plus di latar belakang ada umbul-umbul merah-putih. Jawa yang Indonesia itu berhadapan dengan bule, Londo atau Belanda, lengkap dengan kebesarannya pula. Keduanya tampak hendak saling bertegur sapa laiknya orang saling mengenal.

Itu belum selesai. Karena, yang Jawa mencoba bersalaman (shake hand), sedangkan siLondo seperti melakukan gerak menyembah layaknya orang Jawa terhadap orang yang dianggap lebih terhormat. Ini jelas kewalik-walik. Satire.

Begitulah, sebuah lukisan bisa banyak bicara dengan caranya, termasuk apa yang dipamerkan melalui goresan Jrabang itu, membicarakan kejawaan yang sedang dalam masa sekarang ini: penuh metafora. Soal teknis, juga medium, tidak ada yang aneh. Yang aneh ya apa yang ditawarkan si Jrabang itu. Tabik.
(M Djoko 'Ki Jenggung' Yuwono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan