Kamis, 09 Oktober 2014

SONGONG

Aku sadar sikap rasis akan dimusuhi oleh semua orang di dunia. Tetapi bagaimana jika aku bersikap rasis terhadap diriku sendiri?
Aku merasa biasa-biasa saja, tidak tersanjung dan tidak merasa terhina atas semua pemberian Tuhan yang melekat dalam diriku. Beberapa orang meyakini kalau pakaian berwarna hitam mengindikasikan kematangan dan kedewasaan sifat seseorang. Aku tidak begitu percaya dengan hal itu, tetapi aku berusaha mengambil keuntungan dengan mengatakan” Aku sudah berpakaian hitam sejak kecil, bahkan Tuhan memberiku karunia kulit berwarna hitam. Berarti aku sudah dewasa sejak dilahirkan.”
Tawa pecah ketika aku mengatakan hal itu. Melly bilang aku terlalu percaya diri. Sambil tertawa, Beno bilang kalau aku sinting. Aku terkejut di saat satu-satunya kawanku mengatakan kalau aku songong.
“Songong?!” Tanyaku ingin dia mengulang perkataannya.
“Ya. Songong.” Jawab Jossy sambil memperlihatkan gigi kelincinya.
Aku sempat berpikir apa Jossy paham tentang istilah yang baru saja dia gunakan?
Mungkin saja tidak. Jawabku sendiri.
Songong, tidak tahu adat, tidak tahu aturan, atau hal semacam itu memiliki makna yang sama. Kalau aku menjadikan diriku sendiri sebagai bahan lelucon, apakah hal itu berarti aku tidak tahu adat?
Oh. Mungkin saja begitu. Banyak orang menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon, atau menghina mereka dan menganggap penghinaan itu sebagai hal yang bisa ditertawakan bersama, dan... ketika aku menjadikan diriku sendiri sebagai bahan bercanda, mungkin pantas --menurut Jossy-- untuk menyebutku songong atau tidak tahu adat, batinku.
Lampu Jl. Tritura tidak terlalu terang. Keremangannya berdesakan dengan gelap malam yang semakin hanyut ditelan langit tanpa bintang. Mahkota Masjid Baiturahman To’Kaluku hanya nampak sesekali berkilat setelah terkena cahaya mobil yang lewat. Gereja Paroki di samping kolam Lakipadada juga hanya menyisakan setengah wajah putihnya setelah lampu taman memberi sisa penerangan. Sembilan belas jam yang lalu aku masih di Bandara Hasanudin Makasar. Pesawat yang membawaku ke tanah para Daeng dan Kareang melakukan perjalanan yang cukup mulus, dan tiba tepat waktu seperti yang telah dijadwalkan. Seorang perempuan terlihat mencari seseorang ketika laki-laki setengah baya menawarinya jasa angkutan.” Taksi...taksi...”
Perempuan itu menggelengkan kepala. Selang lima menit setelah laki-laki itu pergi, sopir taksi lain memberi penawaran yang sama.
Sambil tersenyum, perempuan itu menjawab.” Ada jemputan.”
Aku tidak menyangka perempuan yang sedang kuperhatikan itu akan melemparkan pandangan ke arahku sehingga mata kami baku tumbuk. Tidak ada senyum, tidak ada perubahan roman muka, dan tidak ada kata apapun yang keluar dari bibir kami karena kami memang tidak saling mengenal.
Mungkin dia pendatang baru di sini, pikirku. Sambil menjinjing tas berisi beberapa lembar pakaian dan laptop, aku berjalan ke arah tempat pemberhentian kendaraan.
“Taksi...!” Teriak seseorang ke arahku. Aku menggelengkan kepala.
Setelah merasa cukup lama mengamati lalu lalang orang di bandara untuk mengurangi jet leg, kuputuskan untuk segera meluncur ke terminal karena dari sana aku bisa mendapatkan tiket bus yang akan membawaku ke Makale. Bukan rencanaku dan aku yakin tidak juga direncanakan oleh perempuan yang aku amati di bandara tadi kalau ternyata setelah naik bis, ternyata kami duduk bersebelahan.
Aku bilang mau ke Tana Toraja ketika dia menanyakan tempat tujuanku. Aku tidak harus menanyakan tempat tujuannya karena dia sendiri yang menyebutkannya sebelum aku bertanya.”  Aku juga mau ke Tator.”
Perbincangan mengalir secepat bus yang membawa kami ke tujuan yang sama. Dari bibirnya aku sedikit tahu kalau suku Toraja ternyata merupakan suku pendatang.” Banyak orang tua kami yang percaya kalau leluhur kami turun dari kahyangan di pulau Lebukan. Aku sendiri tidak tahu dimana pulau Lebukan itu. Tapi dari cerita yang pernah kudengar, bentuk atap rumah kami...”
“Lekra...” Bisikku tanpa sengaja memotong ucapannya.
“Ya, lekra... itu mirip perahu yang dibalik, dan tongkonan atau rumah orang toraja, biasanya menghadap ke arah utara karena masyarakat percaya dari sanalah asal nenek moyang kami.” Lanjutnya menjelaskan.” Dari Lebukan mereka berdatangan ke sulawesi dan berdiam di sekitar danau. Lama kelamaan tempat itu menjadi perkampungan Bugis. Beberapa orang lalu pergi ke utara dan menetap di gunung Kandora dan di daerah Enrekang. Merekalah yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang suku kami.”
Info lengkap dan gratis, pikirku merasa diuntungkan dengan cerita yang baru saja aku terima. Lamanya perjalanan dan medan yang berliku menjadikan beberapa penumpang yang tertidur terlihat kurang nyaman. Satu-dua penumpang berdiri untuk mengurangi tulang punggungnya yang sakit. Setelah bercerita panjang lebar dan menjawab beberapa pertanyaanku tentang tempat yang menjadi tujuanku, perempuan di sampingku itu tertidur pulas tanpa pernah memperkenalkan namanya terlebih dulu. Menjelang jam 2 dini hari aku ikut terlelap dan terbangun lagi ketika perempuan di sebelahku bersin dan membangunkan hampir setengah dari jumlah seluruh penumpang.
“Terimakasih,” Ucapnya setelah menerima tissue pemberianku.” Satu jam lagi kita sampai.” Imbuhnya.
Samar-samar aku bisa melihat raut mukanya yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi apa hakku untuk menanyakan kesedihan orang yang namanya pun belum aku kenal?
Dia menoleh ke arahku, memastikan kalau ada telinga yang mau mendengar ucapannya ketika dia ingin bercerita.” Apa tujuanmu ke Toraja?” Pertanyaan pancingan itu dia lemparkan sebelum melanjutkan ceritanya yang sempat terputus oleh mimpi.” Turis dari Eropa banyak yang datang ke Toraja. Tapi dari Asia jarang. Mereka biasanya akan mengikut pesta Rambu Solo’. Pesta pemakaman adat Toraja.”
Aku duduk di dekat jendela. Posisi semacam itu menjadikan dia berkesempatan untuk melirik ke arahku seolah sedang melihat ke arah luar jendela. Mulutnya tidak berhenti bercerita mengenai apapun yang dia ketahui sampai bus berhenti di Mangkendek untuk menurunkan penumpang. Ketika bus kembali melaju, bibir perempuan itu ikut mengejarnya dengan cerita lain yang seolah sangat penting untuk kuketahui di saat mataku ingin terpejam.
Aku tidak tahu kapan perempuan itu menghentikan ceritanya dan turun dari bus. Ketika aku membuka mata, dia sudah tidak di sebelahku.
Kondektur bus bilang kalau sebentar lagi bus akan sampai di Makale, dan meminta penumpang yang akan turun untuk bersiap. Lima menit kemudian...
“Makale...Makale...”
“Ya, kiri...” Jawabku memberitahu kalau aku akan turun.
Setelah turun dari bus, seorang tukang ojek mengantarku ke hotel yang letaknya tidak terlalu jauh. Dalam perjalanan kami sempat berbincang dan dia memberitahukan kalau hari ini ada pesta pemakaman.
“Di Ke’te Kesu.”
“Ketek Kesu?” Tanyaku mengulang ucapannya.
“Bukan. Ke’ te...Kesu.” Ulangnya.
“Jauh dari sini?”
“Lima belas menit perjalanan ji... kita mau datang? Bisa saya antar.”
“Kita?” Kembali aku bertanya karena aku merasa belum menawarinya untuk pergi bersama-sama, tetapi dia sudah menanyakan tentang tentang rencana kepergian kami.
“Orang Toraja tidak sopan kalau menyebut ‘kamu’. Kami biasa menyebut ‘kita’, artinya kamu.” Jawabnya sambil menertawakan ketidak-tahuanku. Aku tersenyum. Pelajaran pertama setelah menginjakan kaki di Tana Toraja aku dapatkan.
“Jam berapa acaranya dimulai?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Biasanya jam 3 sore sudah banyak yang datang. Mau ki datang ke pesta?”
Aku bilang tertarik untuk datang ke acara itu, dan memintanya menjemputku sebelum jam 3 sore.
Mungkin hanya di Tana Toraja, orang meninggal dibuatkan pesta yang sangat besar. Jam setengah 3 sore tukang ojek itu datang ke hotel untuk menjemputku. Kami sampai ke tempat pesta bersamaan dengan pembawa acara yang sedang menyebutkan akan dilakukan pertarungan 2 kerbau yang sudah diarak di tengah lapangan. Bulu kerbau belang yang biasa disebut Tedong Bonga nampak berkilat-kilat terkena sengatan terik sinar matahari.
Tukang ojek itu rupanya berbaik hati untuk menemaniku. Dia menceritakan beberapa hal yang sebelumnya tidak aku pahami, dan mengajakku bergabung dengan para pengunjung pesta yang lain untuk menikmati makanan yang disajikan.
“Di sini semua orang boleh ikut pesta. Semua tamu akan dijamu karena kami menganggap semakin banyak tamu akan membawa banyak rejeki.”
Aku mengangguk-anggukan kepala.” Siapa mereka?” Tanyaku ketika ada serombongan perempuan berpakaian biru yang membawa baki.
“Mereka bertugas menyediakan makanan untuk keluarga yang berduka.”
Berduka? Tanyaku dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang sedang berduka menyelenggarakan pesta yang sangat meriah seperti ini?
“Pesta inilah yang mungkin membedakan kami dengan masyarakat di belahan bumi yang lain.” Ucap tukang ojek itu sambil menikmati kopi yang tersaji di depan kami.
Sorak sorai terdengar ketika adu kerbau dimulai. Aku berdiri untuk mengabadikan momen itu dengan kamera. Hanya dalam waktu kurang dari 15 menit, salah satu kerbau lari dan dinyatakan kalah.
Lalu aku berjalan, memotret para pengunjung, bangunan rumah yang disebut lakean, dan beberapa hal lain yang ada di tempat itu. Tukang ojek itu mengajakku untuk memotret patung orang yang meninggal yang dipajang di salah satu bangunan tempat pesta diadakan. Aku mengikuti langkah kakinya.
Begitu melihat patung yang dia maksud, dadaku berdegub sangat kencang seperti baru saja disambar petir. Wajah patung itu sama persis dengan wajah perempuan yang semalam berbincang dengan aku di dalam bis!
Untuk menuntaskan rasa penasaranku, aku berjalan mendekat ke arah patung, dan membiarkan tukang ojek itu berdiri di belakangku.
“Namanya, Teo Pakiding...”
“Lina Pakidding?” Tanyaku.” Berapa umurnya ketika meninggal?” Tanyaku lagi sambil menoleh ke arah tukang ojek yang berdiri di belakangku.
Ketika aku menoleh, betapa jantungku hampir lepas dari tempatnya karena tukang ojek itu ternyata sudah tidak berada di sana! 

(by: asw, 2014)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan