Aku
sadar sikap rasis akan dimusuhi oleh semua orang di dunia. Tetapi bagaimana
jika aku bersikap rasis terhadap diriku sendiri?
Aku
merasa biasa-biasa saja, tidak tersanjung dan tidak merasa terhina atas semua
pemberian Tuhan yang melekat dalam diriku. Beberapa orang meyakini kalau
pakaian berwarna hitam mengindikasikan kematangan dan kedewasaan sifat
seseorang. Aku tidak begitu percaya dengan hal itu, tetapi aku berusaha
mengambil keuntungan dengan mengatakan” Aku sudah berpakaian hitam sejak kecil,
bahkan Tuhan memberiku karunia kulit berwarna hitam. Berarti aku sudah dewasa
sejak dilahirkan.”
Tawa
pecah ketika aku mengatakan hal itu. Melly bilang aku terlalu percaya diri.
Sambil tertawa, Beno bilang kalau aku sinting. Aku terkejut di saat
satu-satunya kawanku mengatakan kalau aku songong.
“Songong?!”
Tanyaku ingin dia mengulang perkataannya.
“Ya.
Songong.” Jawab Jossy sambil memperlihatkan gigi kelincinya.
Aku
sempat berpikir apa Jossy paham tentang istilah yang baru saja dia gunakan?
Mungkin
saja tidak. Jawabku sendiri.
Songong,
tidak tahu adat, tidak tahu aturan, atau hal semacam itu memiliki makna yang
sama. Kalau aku menjadikan diriku sendiri sebagai bahan lelucon, apakah hal itu
berarti aku tidak tahu adat?
Oh.
Mungkin saja begitu. Banyak orang menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon,
atau menghina mereka dan menganggap penghinaan itu sebagai hal yang bisa
ditertawakan bersama, dan... ketika aku menjadikan diriku sendiri sebagai bahan
bercanda, mungkin pantas --menurut Jossy-- untuk menyebutku songong atau tidak
tahu adat, batinku.
Lampu
Jl. Tritura tidak terlalu terang. Keremangannya berdesakan dengan gelap malam
yang semakin hanyut ditelan langit tanpa bintang. Mahkota Masjid Baiturahman
To’Kaluku hanya nampak sesekali berkilat setelah terkena cahaya mobil yang
lewat. Gereja Paroki di samping kolam Lakipadada juga hanya menyisakan setengah
wajah putihnya setelah lampu taman memberi sisa penerangan. Sembilan belas jam
yang lalu aku masih di Bandara Hasanudin Makasar. Pesawat yang membawaku ke
tanah para Daeng dan Kareang melakukan perjalanan yang cukup mulus, dan tiba
tepat waktu seperti yang telah dijadwalkan. Seorang perempuan terlihat mencari
seseorang ketika laki-laki setengah baya menawarinya jasa angkutan.”
Taksi...taksi...”
Perempuan
itu menggelengkan kepala. Selang lima menit setelah laki-laki itu pergi, sopir
taksi lain memberi penawaran yang sama.
Sambil
tersenyum, perempuan itu menjawab.” Ada jemputan.”
Aku
tidak menyangka perempuan yang sedang kuperhatikan itu akan melemparkan
pandangan ke arahku sehingga mata kami baku tumbuk. Tidak ada senyum, tidak ada
perubahan roman muka, dan tidak ada kata apapun yang keluar dari bibir kami
karena kami memang tidak saling mengenal.
Mungkin
dia pendatang baru di sini, pikirku. Sambil menjinjing tas berisi beberapa
lembar pakaian dan laptop, aku berjalan ke arah tempat pemberhentian kendaraan.
“Taksi...!”
Teriak seseorang ke arahku. Aku menggelengkan kepala.
Setelah
merasa cukup lama mengamati lalu lalang orang di bandara untuk mengurangi jet
leg, kuputuskan untuk segera meluncur ke terminal karena dari sana aku bisa
mendapatkan tiket bus yang akan membawaku ke Makale. Bukan rencanaku dan aku
yakin tidak juga direncanakan oleh perempuan yang aku amati di bandara tadi
kalau ternyata setelah naik bis, ternyata kami duduk bersebelahan.
Aku
bilang mau ke Tana Toraja ketika dia menanyakan tempat tujuanku. Aku tidak
harus menanyakan tempat tujuannya karena dia sendiri yang menyebutkannya
sebelum aku bertanya.” Aku juga mau ke
Tator.”
Perbincangan
mengalir secepat bus yang membawa kami ke tujuan yang sama. Dari bibirnya aku
sedikit tahu kalau suku Toraja ternyata merupakan suku pendatang.” Banyak orang
tua kami yang percaya kalau leluhur kami turun dari kahyangan di pulau Lebukan.
Aku sendiri tidak tahu dimana pulau Lebukan itu. Tapi dari cerita yang pernah
kudengar, bentuk atap rumah kami...”
“Lekra...”
Bisikku tanpa sengaja memotong ucapannya.
“Ya,
lekra... itu mirip perahu yang dibalik, dan tongkonan atau rumah orang toraja,
biasanya menghadap ke arah utara karena masyarakat percaya dari sanalah asal
nenek moyang kami.” Lanjutnya menjelaskan.” Dari Lebukan mereka berdatangan ke
sulawesi dan berdiam di sekitar danau. Lama kelamaan tempat itu menjadi
perkampungan Bugis. Beberapa orang lalu pergi ke utara dan menetap di gunung
Kandora dan di daerah Enrekang. Merekalah yang kemudian dianggap sebagai nenek
moyang suku kami.”
Info
lengkap dan gratis, pikirku merasa diuntungkan dengan cerita yang baru saja aku
terima. Lamanya perjalanan dan medan yang berliku menjadikan beberapa penumpang
yang tertidur terlihat kurang nyaman. Satu-dua penumpang berdiri untuk
mengurangi tulang punggungnya yang sakit. Setelah bercerita panjang lebar dan
menjawab beberapa pertanyaanku tentang tempat yang menjadi tujuanku, perempuan
di sampingku itu tertidur pulas tanpa pernah memperkenalkan namanya terlebih
dulu. Menjelang jam 2 dini hari aku ikut terlelap dan terbangun lagi ketika
perempuan di sebelahku bersin dan membangunkan hampir setengah dari jumlah
seluruh penumpang.
“Terimakasih,”
Ucapnya setelah menerima tissue pemberianku.” Satu jam lagi kita sampai.”
Imbuhnya.
Samar-samar
aku bisa melihat raut mukanya yang berusaha menyembunyikan kesedihan.
Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi apa hakku untuk menanyakan kesedihan
orang yang namanya pun belum aku kenal?
Dia
menoleh ke arahku, memastikan kalau ada telinga yang mau mendengar ucapannya
ketika dia ingin bercerita.” Apa tujuanmu ke Toraja?” Pertanyaan pancingan itu
dia lemparkan sebelum melanjutkan ceritanya yang sempat terputus oleh mimpi.”
Turis dari Eropa banyak yang datang ke Toraja. Tapi dari Asia jarang. Mereka
biasanya akan mengikut pesta Rambu Solo’. Pesta pemakaman adat Toraja.”
Aku
duduk di dekat jendela. Posisi semacam itu menjadikan dia berkesempatan untuk
melirik ke arahku seolah sedang melihat ke arah luar jendela. Mulutnya tidak
berhenti bercerita mengenai apapun yang dia ketahui sampai bus berhenti di
Mangkendek untuk menurunkan penumpang. Ketika bus kembali melaju, bibir
perempuan itu ikut mengejarnya dengan cerita lain yang seolah sangat penting
untuk kuketahui di saat mataku ingin terpejam.
Aku
tidak tahu kapan perempuan itu menghentikan ceritanya dan turun dari bus.
Ketika aku membuka mata, dia sudah tidak di sebelahku.
Kondektur
bus bilang kalau sebentar lagi bus akan sampai di Makale, dan meminta penumpang
yang akan turun untuk bersiap. Lima menit kemudian...
“Makale...Makale...”
“Ya,
kiri...” Jawabku memberitahu kalau aku akan turun.
Setelah
turun dari bus, seorang tukang ojek mengantarku ke hotel yang letaknya tidak
terlalu jauh. Dalam perjalanan kami sempat berbincang dan dia memberitahukan
kalau hari ini ada pesta pemakaman.
“Di
Ke’te Kesu.”
“Ketek
Kesu?” Tanyaku mengulang ucapannya.
“Bukan.
Ke’ te...Kesu.” Ulangnya.
“Jauh
dari sini?”
“Lima
belas menit perjalanan ji... kita mau datang? Bisa saya antar.”
“Kita?”
Kembali aku bertanya karena aku merasa belum menawarinya untuk pergi bersama-sama,
tetapi dia sudah menanyakan tentang tentang rencana kepergian kami.
“Orang
Toraja tidak sopan kalau menyebut ‘kamu’. Kami biasa menyebut ‘kita’, artinya kamu.” Jawabnya sambil
menertawakan ketidak-tahuanku. Aku tersenyum. Pelajaran pertama setelah
menginjakan kaki di Tana Toraja aku dapatkan.
“Jam
berapa acaranya dimulai?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Biasanya
jam 3 sore sudah banyak yang datang. Mau ki
datang ke pesta?”
Aku
bilang tertarik untuk datang ke acara itu, dan memintanya menjemputku sebelum
jam 3 sore.
Mungkin
hanya di Tana Toraja, orang meninggal dibuatkan pesta yang sangat besar. Jam
setengah 3 sore tukang ojek itu datang ke hotel untuk menjemputku. Kami sampai
ke tempat pesta bersamaan dengan pembawa acara yang sedang menyebutkan akan
dilakukan pertarungan 2 kerbau yang sudah diarak di tengah lapangan. Bulu
kerbau belang yang biasa disebut Tedong Bonga nampak berkilat-kilat terkena
sengatan terik sinar matahari.
Tukang
ojek itu rupanya berbaik hati untuk menemaniku. Dia menceritakan beberapa hal
yang sebelumnya tidak aku pahami, dan mengajakku bergabung dengan para
pengunjung pesta yang lain untuk menikmati makanan yang disajikan.
“Di
sini semua orang boleh ikut pesta. Semua tamu akan dijamu karena kami
menganggap semakin banyak tamu akan membawa banyak rejeki.”
Aku
mengangguk-anggukan kepala.” Siapa mereka?” Tanyaku ketika ada serombongan
perempuan berpakaian biru yang membawa baki.
“Mereka
bertugas menyediakan makanan untuk keluarga yang berduka.”
Berduka?
Tanyaku dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang sedang berduka
menyelenggarakan pesta yang sangat meriah seperti ini?
“Pesta
inilah yang mungkin membedakan kami dengan masyarakat di belahan bumi yang
lain.” Ucap tukang ojek itu sambil menikmati kopi yang tersaji di depan kami.
Sorak
sorai terdengar ketika adu kerbau dimulai. Aku berdiri untuk mengabadikan momen
itu dengan kamera. Hanya dalam waktu kurang dari 15 menit, salah satu kerbau
lari dan dinyatakan kalah.
Lalu
aku berjalan, memotret para pengunjung, bangunan rumah yang disebut lakean, dan
beberapa hal lain yang ada di tempat itu. Tukang ojek itu mengajakku untuk
memotret patung orang yang meninggal yang dipajang di salah satu bangunan
tempat pesta diadakan. Aku mengikuti langkah kakinya.
Begitu
melihat patung yang dia maksud, dadaku berdegub sangat kencang seperti baru
saja disambar petir. Wajah patung itu sama persis dengan wajah perempuan yang
semalam berbincang dengan aku di dalam bis!
Untuk
menuntaskan rasa penasaranku, aku berjalan mendekat ke arah patung, dan membiarkan
tukang ojek itu berdiri di belakangku.
“Namanya,
Teo Pakiding...”
“Lina
Pakidding?” Tanyaku.” Berapa umurnya ketika meninggal?” Tanyaku lagi sambil
menoleh ke arah tukang ojek yang berdiri di belakangku.
Ketika
aku menoleh, betapa jantungku hampir lepas dari tempatnya karena tukang ojek
itu ternyata sudah tidak berada di sana!
(by: asw, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan