Oleh: Aris Setyo Wibowo
Tugas berat berada di
pundak Setya Novanto (Fraksi Partai Golkar) pasca resmi terpilih sebagai Ketua DPR
Ri untuk periode sampai lima
tahun mendatang. Bukan hanya tugas untuk
memperjuangkan aspirasi konstituen yang telah memilihnya, tetapi –lebih dari
hal itu—tugas lain yang sudah
menunggunya adalah menyatukan kembali hati nurani Anggota Dewan yang sudah
tercerai berai karena kerasnya benturan politik antar partai politik.
Setelah aksi walk out yang dilakukan Koalisi Fraksi Indonesia
Hebat pada saat rapat pembahasan Tata Tertib yang ‘dibalas’ oleh Fraksi Demokrat sehingga suara bulat Koalisi Merah Putih
mengenai Pilkada berjalan mulus untuk ditetapkan, kericuhan sidang paripurna
yang dipimpin Popong Otje Djunjunan juga mengindikasikan bahwa perjalanan DPR untuk
5 tahun ke depan tidak akan mudah.
Resiko
Demokrasi
Sudah menjadi salah
satu resiko sistem demokrasi jika perbedaan pendapat merupakan keniscayaan yang
harus bisa diterima. Semua pihak yang memiliki hak menyampaikan pendapat harus diberi
ruang yang cukup dan jaminan kebebasan yang selayaknya.
Meminjam penggalan
syair lagu Iwan Fals, masyarakat tidak akan pernah bisa melupakan kebiasaan
para anggota dewan pada jaman Orba yang tidak ubahnya ‘Paduan Suara’. Seiring gelombang Reformasi tahun 1998, Paduan Suara
semacam itu sepertinya tidak akan pernah kita saksikan lagi.
Ironisnya, pertunjukan
yang dipertontonkan para Anggota Dewan –saat ini—sama membosankannya dengan
pertunjukan sebelumnya. Jika pada jaman Orba ruang Anggota Dewan terlalu hening
dari usulan dan pendapat, hari ini ruang itu terlalu gaduh dan berantakan.
Kalau pada masa Orba, mantan Presiden Soeharto, dianggap sebagai seorang
otoriter yang haus kekuasaan dan mampu membungkam semua Anggota Dewan dengan
strategi politiknya, apakah kekacauan di Gedung Dewan yang kita saksikan hari
ini mengindikasikan bahwa di sana tidak lagi hanya ada satu orang yang haus
kekuasaan, tetapi semua wakil rakyat itu tak lebih dari sekedar sekumpulan
serigala yang berusaha meminjam wajah Musa? Lantas, siapa sesungguhnya Fir’aun
yang sedang mereka lawan?
Jika
pertanyaan-pertanyaan semacam itu dirangkai, mungkin akan terkumpul ratusan pertanyaan
retoris yang mengandung benih-benih satire politik.
Kepercayaan merupakan
modal dasar kokohnya suatu bangsa. Tanpa adanya kepercayaan antar sesama warga
negara akan menyuburkan benih primordialitas. Tanpa adanya kepercayaan
masyarakat terhadap wakil-wakil mereka di pemerintahan akan menumbuhkan benih
ketidak-pedulian yang implikasinya bahkan bisa lebih parah dari sekedar tidak
peduli, tetapi juga upaya untuk memisahan diri.
Ketidak-percayaan semacam itu pula yang menjadikan Bung Karno,
Bung Hatta, Syahrir, dan angkatan muda 1945 berani mengambil langkah besar
untuk mengumandangkan Proklamasi demi kemerdekaan negeri ini dari belenggu
penjajahan yang menipu dan menyesakan dada. Membiarkan masyarakat mengambil
kesimpulan sendiri mengenai pertunjukan opera yang terjadi di Gedung Dewan
dilihat dengan kacamata partisipasi demokrasi bisa bernilai baik. Tetapi tidak
jarang pula reduksi masyarakat terhadap fenomena politik yang terpampang di
mata kepala mereka justru akan membawa dampak yang sebaliknya jika penyebabnya
adalah rasa bosan dan jengah yang menjadikan psikis mereka merasa sangat letih.
Semakin banyaknya
kelompok muda terpelajar menduduki kursi anggota dewan, dan masih adanya
orang-orang tua yang kembali terpilih di tempat yang sama seharusnya
menghasilkan kolaborasi yang cantik dan indah. Kita bisa merasakan antusiasme
masyarakat mengikuti berita mengenai kondisi politik di negeri ini yang sangat
luar biasa. Modal besar itu seharusnya tidak disia-siakan.
Masyarakat tahu,
anggota dewan yang saat ini dipercaya merupakan orang-orang yang terdidik
dengan baik. Mayoritas dari mereka merupakan lulusan perguruan tinggi yang tersebar
di seantero negeri ini. Pemandangan ‘tidak indah’ yang kita saksikan pada
sidang paripurna kemarin (pen. 1 s/d 2 -10-2014) seperti ingin menunjukan ke
kita bahwa modal pendidikan dan gelar kesarjanaan saja ternyata tidak cukup
menjadi Modal yang baik ketika mereka diberi tanggungjawab sebagai penentu
kebijakan.
Menelusuri akar kata
‘kebijakan’, kita akan dipertemukan dengan kata bijak dan bijaksana sebagai
pelengkapnya. Ketika kita diberi tontonan seperti yang kita saksikan pada
Sidang Paripurna DPR kemarin, apakah kita menemukan hal semacam itu (pen. Sikap
bijak) ditunjukan oleh mereka?
Berulang disampaikan,
masyarakat saat ini membutuhkan sosok yang tidak hanya pandai bicara, tapi juga
memberi contoh yang positif. Munculnya beberapa tokoh nasional yang mampu
menunjukan integritasnya melalui aksi-aksi nyata sempat memberi harapan negeri
ini sedang mempersiapkan diri menuju era yang lebih baik.
Harapan itu ternyata
seperti mimpi yang harus kembali terpenggal oleh matahari. Janji-janji politik
para Calon Anggota Dewan bahwa mereka tidak akan meninggalkan konstituennya
ternyata menguap begitu saja, ketika mereka dihadapkan pada kue kekuasaan dan
kepentingan partai politik yang mengusung dirinya. Jika hal ini kita
konjungsikan dengan banyak ditangkapnya anak-anak muda berprestasi karena
terlibat kasus korupsi, maka fenomena yang kita saksikan saat ini seperti
hendak menegaskan bahwa “semalam kita hanya bermimpi dan sekarang sudah pagi
hari lagi!”
Ungkapan bahwa perang
terbesar adalah perang terhadap diri sendiri sepertinya sangat relevan untuk
membuka kembali mata hati para wakil rakyat. Sebelum mampu mengalahkan dirinya
sendiri, sebaiknya mereka tidak berpikir untuk mengalahkan lawan politiknya.
Kita akan selalu terjerat dalam lingkaran setan, jika tidak segera membenahi
mindset kita terhadap polik bahwa politik merupakan ajang pertarungan yang
bertujuan untuk saling mengalahkan demi meraih kekuasaan.
Politik bukanlah
pertarungan untuk memenangkan kekuasaan, tetapi perjuangan agar bayi-bayi
kebijaksaan dapat dilahirkan sebagai wujud kemenangan. (asw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan