Jumat, 10 Oktober 2014

Menyusuri Misteri Di Surga Yang Tersembunyi



Ketika Raden Banterang mengetahui Putri Sri Tanjungsari hamil, dia meragukan janin yang dikandung istrinya itu adalah benih dari dirinya. Tentu saja Putri Sri Tanjungsari membela diri. Peristiwa itu menyebabkan terjadilah polemik di dalam keraton yang menyebabkan Putri Sri Tanjungsari harus meregang nyawa di tangan suaminya sendiri. Sebelum meninggal, sang putri bersumpah bahwa jika dia benar, maka air sungai tempatnya meninggal akan mengeluarkan aroma yang sangat harum, tetapi jika dia bersalah maka hal sebaliknya yang akan terjadi. Ternyata ucapan Putri Sri Tanjungsari terbukti. Sungai yang menjadi saksi kematiannya seketika mengeluarkan aroma harum semerbak dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sejak saat itu, disebutlah tempat meninggalnya Putri Sri Tanjungsari dengan nama Banyuwangi.
Selain asal-usul nama Banyuwangi, masih banyak legenda lain yang hidup dan dipercaya kebenarannya oleh masyakarat Osing yang notabene merupakan masyarakat asli kota Banyuwangi. Kisah Tawang Alun dan pengawal macan putih yang setia mengikuti kemanapun dia pergi dan kisah terbaru mengenai lahirnya anak Genderuwo merupakan sebagian cerita yang melengkapi kota paling ujung timur pulau Jawa itu hingga dikenal sebagai Kota Santet.
Meski perjalanan Padmagz kali ini tidak bertujuan untuk menguak rahasia di balik legenda-legenda di Banyuwangi, tetapi sulit dipungkiri bahwa akhirnya Padmagz pun merasa tertarik untuk merasakan nuansa mistis yang tidak bisa dipisahkan dari Kota Santet itu dengan mengunjungi Sarang Makhluk halus di sana. Di mana lagi kalau bukan di Alas Purwa yang konon dijaga oleh makhluk halus bernama Mbah Dawa dan Mbah Bolong?
Rintik hujan menambah nuansa mistis. Hutan jati yang tertata rapi mengepung Padmagz ketika memasuki kawasan hutan yang terkenal dengan penghuni tak kasat matanya itu. Setelah berteduh sejenak sekaligus mencari informasi di pos penjaga, Padmagz masih harus menempuh perjalanan sekitar 25 menit lagi melalui pantai Semburan Amba yang merupakan kawasan pendaratan penyu liar. Di pos dua, Padmagz memperoleh keterangan agar segera melakukan perjalanan menuju Gua Istana sebelum matahari benar-benar tenggelam.
Di sepanjang jalan setapak yang belum selesai diperbaiki, kicau burung di kejauhan dan angin yang menggesek dedaunan terdengar seperti biola tanpa rupa. Aksi jeprat-jepret pun segera dilakukan salah satu fotografer Padmagz agar tidak kehilangan momen karena sebentar lagi hutan benar-benar tidak akan menyisakan celah cahaya.
Hujan yang mengguyur tidak menghentikan langkah kami ketika harus beradu cepat dengan kegelapan untuk segera sampai di Gua Istana. Gua Istana juga biasa disebut Gua Padepokan karena di Gua ini tokoh seperti Bung Karno, Supriyadi serta para utusan dari Kraton Surakarta dan Jogjakarta sering melakukan ritual. Selain gua padepokan masih ada lagi Gua Mayangkoro dan 150 gua lain di Alas Purwa.
(pantai rajekwesi)
Sesampai di gua Istana, Padmagz bertemu dengan seorang spiritualis yang sudah 3 hari 3 malam menghabiskan waktu seorang diri di dalam gua. Dia keluar hanya untuk mengambil air minum di sungai kecil yang konon dijadikan sebagai tempat bersemadi Syeh Siti Jenar.
Hanya 15 menit Padmagz berada di Gua Istana. Meski begitu, banyak hal yang terjadi dan menjadikan bulu kuduk merinding tanpa kendali. Perjalanan kembali ke pos penjaga pun kami pilih karena hari telah gelap dan kami hanya bisa mengandalkan senter kecil sebagai penerang jalan. Menurut keterangan petugas, terdapat lebih dari 150 gua di alas purwa yang jaraknya saling berjauhan.
Di sepanjang perjalanan ke pos penjaga, mata kami dikejutkan dengan munculnya cahaya-cahaya kecil yang bertebaran di sela akar pepohonan. Ketika kami dekati, tiba-tiba –cahaya-cahaya itu menghilang. Rasa penasaran menjadikan Padmagz semakin ingin tahu cahaya apa sebenarnya yang baru saja kami tangkap.
Sambil terus berjalan, sesekali kami berhenti ketika cahaya semacam itu kembali muncul tidak jauh dari rute perjalanan. Dengan cekatan Padmagz mengarahkan senter ke sumber cahaya. Olala... ternyata cahaya yang dari tadi mempermainkan kami berasal dari jamur-jamur kecil yang basah oleh air hujan. Karena posisinya yang terselip di antara semak dan akar, sejak tadi Padmagz agak kesulitan untuk menemukannya.
Hawa dingin terus menggerogoti malam seiring dengan kegelapan yang menghalami jarak pandang Padmagz. Malam itu, Padmagz berencana menginap di pos penjaga dan makan malam di satu-satunya warung yang berada di tempat itu juga.
Sambil menggendong rasa letih dan lapar yang sudah tidak tertahan, Padmagz langsung menyerbung warung itu.
“Apa? Warungnya tutup?!” Pekik Bunda Wina, satu-satunya personel paling pinky itu dengan mulut menganga.” Lalu kita makan apa?” Tanyanya lagi dengan wajah tanpa sedikit pun pulasan make up yang tersisa.
“Tarrraaaa....!” Personel Padmagz yang lain menjawab dengan mengangkat sebutir semangka yang kebetulan kami beli sebelum memasuki area Alas Purwa.
Alkisah, ternyata tidak hanya malam itu Padmagz harus makan semangka. Karena belum tahu apakah besok warungnya sudah buka atau belum, kami memutuskan, malam itu hanya separo semangka yang boleh dimakan, dan sisa nasibnya baru akan ditentukan esok hari.
What?!” Giliran personel lain yang melongo. Ucapan Bunda Wina sontak menjadikan 3 personel lain langsung mengusap perut. Keputusan itu berarti bahwa kami harus menahan lapar sampai besok pagi, karena separo semangka rasanya tidak cukup untuk mengganjal perut yang sudah terbiasa dengan nasi.
(surfing di pulau merah)
Malam berjalan sangat pelan seiring bunyi gendang dari perut kami. Hanya rasa letih yang akhirnya memaksa kami terlelap di alam mimpi. Ketika subuh tiba, saya berusaha membuka mata pelan-pelan karena hawa dingin Alas Purwa semakin terasa menggigit tulang.
Begitu saya membuka mata, betapa saya sangat terkejut karena melihat sesuatu yang mencurigakan tepat di depan mata! Benda itu berukuran sangat besar dan berwarna hitam. Dari gerak-geriknya, saya sangat yakin kalau benda itulah yang selama ini menjadikan para pengunjung Alas Purwa merasa ngeri. Saya memberanikan diri untuk menyentuhnya, ternyata benda itu lumayan lembut dan tidak seseram wujudnya. Saya semakin berani untuk menyentuhnya lebih keras. Di sentuhan ke dua, saya semakin kaget karena tiba-tiba terdengar suara,” Ngapain pegang-pegang pantatku?!”
“Sial!” Benda yang saya kira penampakan makhluk astral itu ternyata pantat Mas Agung. Dia nungging tepat di depan mata saya. Spontan saya bilang,” Pantat yang benar-benar mengerikan!”

Pantai Plengkung
Apa yang anda pikirkan ketika menyaksikan ombak bergulung-gulung setinggi 6 meter dan memiliki panjang sekitar 2 Km? Sebagian orang pasti merasa ngeri, tetapi bagi sebagian orang yang lain, ombak semacam itu akan sangat menyenangkan karena mereka bisa memacu adrenalin dengan berdiri di atas papan selancar. Hal itu pula yang kami lakukan pada hari ke 2 di kawasan Hutan Lindung Alas Purwa.
Pantai Plengkung di Banyuwangi sering disebut-sebut sebagai surganya para peselancar. Bulan April dan Agustus merupakan waktu yang dipilih para pelancong dari dalam dan luar negeri membanjiri hotel-hotel di sekitar tempat ini karena pada saat itu ombak sedang tinggi-tingginya, dan mereka bisa berselancar dengan puas.
Jika tidak begitu suka berselancar, menikmati orkestra alam dengan menginap di tengah hutan bisa menjadi pilihan untuk merenggangkan otot syaraf yang setiap hari dijejali beragam tugas dan pekerjaan. D’ Floyd bilang,” Gemericik air, debur ombak, biru laut, lebat hutan dan suara penghuni belantara raya adalah media relaksasi paling manjur untuk menghilangkan stres.”
Semua itu bisa didapatkan dalam sekali perjalanan ketika kita berkunjung ke Pantai Plengkung. Untuk mencapai surga tersembunyi ini, Padmagz menempuh jarak sekitar 9 Km dari pos penjaga Alas Purwa. Di sepanjang jalan terlihat banyak sekali kupu-kupu dan bunga lavender yang memanjakan mata selain hutan bambu yang panjangnya berkilo-kilo meter.
(snorkeling di teluk hijau)
Pantai Plengkung juga sering disebut G-Land karena ombaknya yang sangat besar (Great), berada di kawasan hutan yang ‘ijo royo-royo’ (Green), dan tempatnya yang menyatu dengan garis pantai Grajakan. Bagi para pelancong yang ingin mengunjungi tempat ini jangan lupa membawa jas hujan karena tidak jarang cuaca di tempat ini berubah dengan sangat cepat meski masih dalam kategori aman.
Teluk Bedul
Puas menghabiskan setengah hari di Pantai Plengkung, Padmagz meluncur ke sisi lain kawasan Alas Purwa. Kali ini kami menikmati indahnya hutan mangrove di sepanjang teluk Bedul. Keberadaan hutan mangrove di teluk ini sangat membantu untuk menjaga ekosistem Taman Nasional Alas Purwa, karena salah satu fungsinya memang untuk mengurangi dampak negatif abrasi.
(Kwe Nie, personil d'javato dari Hongkong)
Bagi para juru potret dan penggila fotografi, waktu-waktu menjelang matahari terbenam adalah saat yang tepat untuk mengabadikan keindahan rona langit di tempat ini. Jika anda memiliki waktu yang cukup, anda juga bisa menyewa sepeda petugas untuk bersenang-senang menjelajah kedalaman Alas Purwa dari sudut yang berbeda.
Keindahan akan semakin sempurna ketika anda menyusuri sungai yang membelah kawasan hutan mangrove dengan Alas Purwa dengan menyewa perahu. Jangan lupa menggunakan jurus ‘goyang dombret’ kalau anda ditawari tarif yang lumayan. Biasanya awak perahu akan berhenti bernegosiasi dan menerima tawaran kalau kita mau membayarnya dengan harga sekitar Rp 50.000.00 per penumpang.
Setelah melakukan perjalanan sekitar 15 menit dengan perahu, jangan sungkan-sungkan meminta untuk dibawa ke salah satu delta di tengah sungai menuju pantai selatan itu. Di sana anda bisa turun dan menyaksikan dari dekat burung-burung berkaki panjang sedang bercengkerama sambil menikmati indahnya cakrawala senja. Beberapa nelayan yang sedang memancing dan menjaring ikan juga menjadi salah satu spot terbaik untuk mendapatkan gambar yang ciamik.
(bersama tim d'javato)
Jangan terburu-buru pergi dari tempat ini sampai matahari benar-benar tenggelam. Anda harus menyaksikan keindahan yang belum tentu bisa anda lihat di tempat lain. Meski kita sama-sama hidup di atas bumi dan di bawah langit, tetapi tidak ada satu tempat pun di dunia yang ini memiliki keindahan langit sama. Dan... salah satu keindahan langit itu harus anda saksikan di garis batas cakrawala teluk Bedul.
Anda tidak percaya? Buktikan sendiri. (asw,18 des'04))


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan