Oleh:
Aris Sw
Konstelasi politik di negeri ini tidak hanya menjadi
perhatian seluruh lapisan masyarakat nusantara, tetapi juga masyarakat dunia.
Di antara gegap gempita Pesta Rakyat yang digelar pasca pelantikan Presiden
Terpilih Joko Widodo, beberapa kalangan mulai menunjukan sifat kritis terhadap
fenomena yang sedang terjadi.
Jokowi - JK |
Kesederhanaan, revolusi mental, dan salam tiga jari
menjadi 3 hal yang paling disoroti dari pergerakan politik Jokowi ketika
menaiki anak tangga tertinggi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Kabar
terbaru setelah pembacaan pidato pelantikannya, berbagai tanggapan positif
disampaikan utusan negara lain yang turut diundang dalam prosesi pelantikan
Presiden terpilih. Selain itu, apresiasi masyarakat internasional juga sangat
terlihat tidak hanya untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden Jowoki-JK,
tetapi juga untuk masyarakat Indonesia dalam menjalankan proses demokrasinya.
Perlu dipahami bersama bahwa demokrasi yang
dijalankan di Indonesia berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di negara
lain. Ada unsur Pancasila yang tidak terpisah dan tidak boleh dipisahkan dengan
penyelenggaraan demokrasi di negeri ini, sehingga secara utuh demokrasi di
Indonesia disebut sebagai Demokrasi Pancasila.
Jika pemahaman tentang Pancasila dilakukan secara
mendalam, sebenarnya Indonesia tidak lagi membutuhkan istilah demokrasi. Secara
substantif sesungguhnya nilai-nilai demokrasi berada di dalam Pancasila sebagai
isme/paham kenegaraan kita. Sehingga tidak relevan jika menyandingkan keduanya
karena keberadaan Pancasila melingkupi demokrasi dan nilai-nilai lain seperti
yang tertuang pada sila-sila di dalamnya.
Terlepas dari pemahaman yang perlu diluruskan
tersebut, harapan masyarakat terhadap Presiden terpilih bisa dilihat dari
antusiasme mereka mengikuti Pesta Rakyat dan upacara bendera di beberapa daerah
untuk menyambut pemimpin baru negeri ini. Hal tersebut tentu mengindikasikan
sesuatu yang baik; bahwa untuk ke dua kalinya pasangan Jokowi-JK membuktikan
mereka diterima oleh masyarakat. Penerimaan pertama masyarakat terhadap
pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih itu terjadi pada saat Pilpres
beberapa saat yang lalu.
Meski sempat beredar isu negatif yang akan terjadi
pasca keduanya mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres, kenyataannya
proses transisi kekuasaan dari mantan presiden SBY-Budiyono ke tangan Jokowi-JK
berjalan mulus. Berbagai kalangan menganggap peristiwa itu sebagai hal yang
sangat positif. Bahkan para pemimpin negara lain mengatakan bahwa Indonesia
semakin maju dalam urusan penyelenggaraan demokrasinya.
Pekerjaan yang sesungguhnya telah menanti pasangan
Jokowi-JK pasca pelantikan yang dilakukan pada tanggal 20 oktober 2014. Upaya
penyusunan kabinet yang bersih, bertanggungjawab, dan mau bekerja keras
terlihat dari langkah pertama Presiden terpilih dengan menyodorkan 43 nama calon
menteri yang akan diseleksi pada tahap selanjutnya. Publik pun menunggu hasil
pemeriksaan yang akhirnya menghasilkan buah beberapa nama yang diberi tanda
kuning dan merah sebagai indikator nama yang harus dipertimbangkan kembali oleh
Jokowi-JK.
Batalnya pengumuman susunan Kabinet yang rencananya
akan dilaksanaan di Tanjung Priok pada 22 oktober 2014 menyisakan banyak
pertanyaan. Meski Mantan Deputi Tim Transisi, Andi Widjayanto, mengatakan
Presiden Joko Widodo tidak pernah mengatakan akan mengumumkan Kabinetnya pada
waktu itu, isu lain berhembus mengiring pembatalan jadwal yang telanjur
diterima oleh publik.
Tersiar kabar bahwa nama Calon Menteri dalam kabinet
yang akan diusung Jokowi akan diserahkan ke DPR sebelum keputusan final
dilakukan. Langkah ini tentu terkait dengan upaya politis Jokowi agar
perjalanan Kabinetnya ke depan tidak mendapat banyak rintangan dari DPR, karena
Menteri yang akan dipilihnya telah melalui pertimbangan Dewan Legeslatif di
negeri ini. Selain itu, terbuka kemungkinan langkah tersebut juga merupakan
upaya publisitas bahwa pasangan Jokowi-JK telah melakukan langkah yang selama
ini belum pernah dilakukan oleh Presiden terpilih yang lain sehingga jika kelak
Menteri yang mereka pilih melakukan pelanggaran maka beban tanggungjawab tidak
dipikul Presiden dan Wakil Presiden saja, tetapi juga termasuk di dalamnya
adalah para Anggota Dewan yang turut memberi pertimbangan.
Membaca langkah politis Jokowi tidak boleh terlepas
dari jejak rekam yang telah dibuatnya selama ini, termasuk ketika dia masih
menjabat sebagai Walikota Solo maupun ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Berdasarkan pengakuan Basuki Cahaya Purnama (Ahok), dia merasa selama menjabat
sebagai Wakil Gubernur DKI diberi keleluasaan oleh Jokowi untuk melakukan
banyak hal. Di antaranya melakukan dan mengambil keputusan dalam rapat-rapat
penting yang melibatkan banyak unsur pemerintahan yang lain.
Ketika terjadi gesekan antara Ahok dengan pihak
lain, Ahok menuturkan bahwa selama itu Jokowi selalu membela dirinya. Dimanakah
Jokowi ketika Ahok melangsungkan rapat bersama para Kepala SKPD di lingkup
kerja Pemda DKI dan pihak-pihak lain itu?
Masyarakat tahu bahwa selama menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sering melakukan aksi ‘Blusukan’. Dalam kacamata awam hal itu tentu merupakan sesuatu yang
bernilai positif. Ketika dua hal
tersebut disinkronisasikan, nampaklah kebersihan Jokowi di mata pihak-pihak
yang selama ini melangsungkan rapat bersama Ahok (Kepala SKPD, dll) serta
bagusnya citra Jokowi di mata masyarakat karena sering mendatangi mereka.
Ketika Ahok marah-marah yang tidak menutup
kemungkinan membuat beberapa pimpinan SKPD merasa tersinggung, Jokowi bisa
menjembatani kedua belah pihak seolah dirinya adalah pihak ketiga. Tentu saja
para pimpinan itu bisa menerima keberadaan Jokowi karena orang yang memarahi
mereka bukan dirinya, tetapi Ahok. Di satu sisi Jokowi memperlihatkan dirinya
seperti air yang selalu bisa mendatangkan kesejukan meski di sisi yang lain dia
menyuguhkan Ahok yang berapi-api.
Hal semacam itu hampir mirip dengan gaya berpolitik
Mantan Presiden SBY pada masa jabatan pertama yang dilakoninya. JK yang saat
itu menjabat sebagai Wakil Presiden terlihat lebih banyak berbicara
dibandingkan SBY. Hasilnya, SBY selalu terlihat bersih dan suci sehingga
melenggang mulus masuk ke istana negara pada periode berikutnya.
Langkah manis SBY lambat laun dinilai masyarakat
semata-mata hanya merupakan pencitraan. Sehingga pada periode selanjutnya, SBY
berusaha membuat langkah berbeda. Tetapi upaya menghapus kata ‘pencitraan’
dalam dirinya sepertinya tidak pernah sukses bahkan sampai masa jabatan beliau
berakhir.
Setelah Pesta Rakyat yang digelar di Jakarta dan
sejumlah daerah di tanah air, beredar kabar bahwa Jokowi akan mengumumkan
susunan Kabinetnya di Tanjung Priok pada rabu malam (22-10-2014). Meski hal itu
tidak terwujud, tetapi sebuah sinyal kuat mulai terlihat seiring dengan adanya
pembacaan langkah-langkah politis yang dilakukan Jokowi selama ini.
Pertanyaan paling sederhana adalah mengapa untuk
mengumumkan Kabinetnya saja harus dilakukan di Tanjung Priok? Bukankah hal itu
bisa dilakukan di Istana Negara saja sehingga tidak membutuhkan biaya besar
seperti prinsip kesederhanaan yang selama ini digaungkan? Apakah hal semacam
itu terbebas dari nuansa pencitraan semata?
Pertanyaan bernuansa satir itu barangkali akan
dijawab dengan mudah bahwa melalui pengumuman susunan kabinet di Tanjung Priok,
Jokowi ingin memperkuat citra yang telah dihembuskan melalui pidato
pelantikannya –ke depan Indonesia akan lebih berkonsentrasi untuk
mengoptimalkan bidang maritim yang selama ini belum banyak digarap.
Politik, kekuasaan, kebijaksanaan, dan pencitraan
merupakan mata rantai yang saling terkait. Indonesia bukanlah negeri yang baru
lahir pada tahun 1945, tetapi seperti yang disampaikan Alm. Gusdur (Abdurrahman
Wahid), nilai-nilai Pancasila telah ada sejak 7 abad silam. Selama itu pula
politik, kekuasaan, kebijaksanaan dan pencitraan dilakukan oleh semua lapisan
masyarakat sesuai bidang kehidupan dan penghidupannya masing-masing. Agar terjadi
keseimbangan, salah satu hal yang perlu dipahami Presiden, Wakil Presiden, dan
seluruh pemimpin di negeri ini adalah: benih harapan selalu tumbuh bersama
benih kecewa. Hanya kehati-hatian, kewaspadaan, dan kebenaran dalam menjalankan
amanah-lah yang akan menyelematkan bahtera yang mereka nahkodai. Selamat untuk
diri mereka sendiri, dan selamat untuk seluruh masyarakat di negeri bahari.
(asw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan