Oleh:
Aris Setyo Wibowo
Pelaksanaan
Pemilu Legeslatif dan Pemilu Presiden Indonesia yang baru saja selesai
diselenggarakan mengundang banyak pujian berbagai pihak dari para pemimpin
negara lain. Pujian tersebut seolah juga semakin mengukuhkan Indonesia sebagai
salah satu negara penyelenggara demokrasi paling baik di dunia.
Meski
mendapat pujian dan sanjungan dari negara lain, tidak berarti bahwa Pemilu di
Indonesia tidak terlepas dari kekurangan dan Pekerjaan Rumah (PR) pasca
pelaksanaannya. Salah satu Pekerjaan Rumah yang saat ini kembali mengemuka
adalah santernya isu akan dikembalikannya sistem Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) Langsung oleh rakyat kepada Pilkada yang akan dilakukan oleh DPRD.
Dalam
waktu relatif singkat, isu ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak.
Tidak hanya itu saja, tetapi isu tentang itu juga telah ‘memakan korban’ mundurnya
Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Cahaya Purnama (Ahok), dari keanggotaan partai
Gerindra yang notabene merupakan partai pengusung dirinya karena perbedaan
pendapat antara Ahok dengan partai berlambang kepala garuda itu.
Pengunduran
diri Ahok kembali mendatangkan beragam pertanyaan terkait loyalitas, dedikasi,
dan integritas pejabat Eksekutif dan Legeslatif yang berasal dari partai
politik terhadap kepentingan rakyat. Masalah yang menghantam partai berlambang kepala
garuda itu tidak menutup kemungkinan juga bisa dialami oleh partai-partai yang
lain. Hal itu tercermin dari pendapat beberapa Pemimpin Daerah yang lebih
memilih untuk bersikap abstain agar
bisa melihat dan menunggu keputusan apa yang kelak akan ditetapkan.
Seperti
disuguhi buah simalakama, sikap ‘wait and
see’ dapat dibaca sebagai sikap tidak ingin memperkeruh suasana, sikap
tidak memiliki pendirian, atau bahkan kebingungan untuk menentukan pilihan.
Masalah menjadi semakin terlihat runyam dan melebar tatkala beberapa pihak yang
mencoba melontarkan pendapat tidak menyediakan solusi dan argumentasi yang
mampu meredam suasana, tetapi sebatas menghadirkan wacana yang tidak tuntas
dibahas.
Direktur
Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syasuddin Alimsyah, berusaha
mementahkan alasan Kementerian Dalam Negeri dan Koalisi Merah Putih. Dalam
pernyataannya, Syamsuddin Alimsyah mengatakan,” Mereka (pen: Kementerian Dalam
Negeri dan Koalisi Merah Putih ) beralasan 57% Kepala Daerah korupsi. Tapi jika
diteliti satu per satu by name dan by addres, Kepala Daerah yang korupsi
ini kebanyakan terkait saat menduduki jabatan sebagai anggota DPRD. Hal senada
juga disampaikan Ketua Forum Pemerhati Perempuan Gowa, Putri Ratu, yang berusaha
menyerap aspirasi ibu rumah tangga. Dalam kutipannya, Putri Ratu menyampaikan
bahwa salah satu ibu rumah tangga yang diminta aspirasinya mengatakan, ” Eed...
kenapa itu anggota DPRD yang memilih. Enak mi itu karena kembali mi modalnya.”
(Tribun Timur, 7-9-2014).
Dari
pernyataan Syasuddin Alimsyah dapat ditarik
minimal dua kesimpulan.
Pertama,
kasus korupsi yang menjerat para Kepala Daerah biasanya terkait dengan
kedudukan mereka sebagai anggota DPRD. Jika selama ini mekanisme pencalonan
Kepala Daerah dilakukan oleh partai politik, idealnya partai pengusung calon
tersebut juga ikut bertanggungjawab atas ‘kesalahan’ mereka dalam menentukan
kandidat, karena partai tidak mengetahui secara utuh integritas calon yang
ternyata terlibat dalam kasus korupsi. Selama ini masyarakat hanya melihat
pejabat yang ditangkap sebagai pangkal kasus korupsi, tanpa melihat akar yang
menjadikan pejabat tersebut dapat terpilih dan menduduki jabatan mereka. Lebih
parah lagi seandainya para anggota partai sudah tahu latar belakang calon yang
diusungnya, tetapi tetap memilihnya sebagai kandidat Kepala Daerah karena mereka
juga menerima ‘sesuatu’ dari kandidat yang bersangkutan.
Ke
dua, jika 57% kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dilakukan ketika
mereka menduduki jabatan sebagai anggota DPRD, maka perlu dilakukan kegiatan ‘bersih-bersih’ secara serius di tubuh
DPRD agar jika salah satu anggota DPRD saat ini kelak akan dipilih sebagai
kandidat Kepala Daerah, maka partai politik harus bisa memastikan bahwa mereka
tidak terlibat kasus korupsi pada jabatan yang diemban sebelumnya.
Berdasarkan
pernyataan yang dikutip Putri Ratu tentang kembalinya modal mereka (pen.
Anggota DPRD) jika Pilkada dilakukan oleh Anggota Dewan mengindikasikan
beberapa hal.
Pertama,
bahwa modal yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi Anggota Dewan tidak
sedikit. Banyaknya biaya menjadi latar belakang dilakukannya berbagai upaya
untuk mengembalikan modal tersebut ketika Anggota Dewan terpilih menduduki
jabatan mereka.
Ke
dua, tingginya biaya untuk menjadi Anggota Dewan mengindikasikan bahwa
pelaksanaan sistem demokrasi di negeri inilah yang ‘menuntut’ calon Anggota
Dewan untuk mengeluarkan biaya tersebut agar bisa meraih jabatan yang mereka
inginkan.
Ke
tiga, tingginya biaya sosialisasi mengindikasikan bahwa penyelenggara Pemilu
(pen. KPU) belum memiliki sistem dan sarana sosialisasi yang memadai untuk
mendukung efisiensi para Calon Anggota Dewan sehingga profil mereka bisa
diakses masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya pribadi yang terlampau besar.
Selama ini KPU hanya memberi sedikit fasilitas dan membebaskan seluruh calon
untuk berjuang sendiri/ bersama partainya dalam Pemilu. Ruang kebebasan itulah
yang selama ini dijadikan sebagai kesempatan bagi calon Anggota Dewan untuk
melegalkan cara-cara negatif. Sulit dipungkiri bahwa dalam setiap
penyelenggaraan Pemilu/ Pilkada, masyarakat akan menyaksikan dan mengalami
proses terjadinya jual beli suara antara Calon Anggota Dewan dengan masyarakat
itu sendiri. Jika kejahatan semacam ini diketahui, dialami dan disadari oleh
semua pihak, betapa telah rusaknya mentalitas bangsa ini dalam menyelenggarakan
sistem demokrasi mereka meski dipuji-puji oleh negeri lain sebagai kesuksesan
yang patut diteladani.
Demokrasi
yang sedang kita jalani terlihat seperti ‘lumut bercangkang karang’ yang begitu
kokoh di luar tetapi sangat rapuh di dalamnya.
Kembali
pada persoalan Pilkada Langsung dan Pilkada yang dilakukan oleh DPRD,
pembahasan mengenai hal itu seharusnya tidak hanya berimplikasi pada Pemilihan
Kepala Daerah, tetapi jika memang hal itu dianggap benar maka Pemilihan Kepala
Negara pun sepantasnya ditempuh dengan jalan yang sama sebagai bentuk
konsistensi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan. Jika
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hanya tentang keburukan antara
keduanya, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah” Bagaimana mungkin kita
mengharapkan suatu kebaikan hanya dengan menimbang keburukan yang kita miliki?”
Perlu
kiranya menengok kembali kerangka demokrasi yang kita jalankan saat ini.
Kemajuan dan kemunduran demokrasi bukan hanya dilihat dari sistem apakah yang ‘sudah pernah’ dan ‘sedang dijalankan’ dalam suatu periode, tetapi apa tujuan
sesungguhnya yang diharapkan dari sistem yang kita pilih. Belum tentu Pilkada
langsung merupakan sistem yang paling tepat untuk dilaksanakan di negeri ini
dan bisa dianggap sebagai kemajuan, jika hasilnya justru kontraproduktif dengan
tujuan yang kita inginkan. Begitu pun sebaliknya, belum tentu Pilkada melalui
DPRD bisa kita anggap sebagai kemunduran, jika pertimbangannya bukan sekedar
kuantitas tetapi kualitas atas penyelenggaraan Pemilu. Dua hal itu masih
memiliki kemungkinan yang sama untuk bisa kita jalankan. Satu hal yang perlu
kita cermati bukan hanya sistem manakah yang akan kita pilih, tetapi elemen
demokrasi apa yang harus kita buat agar sistem tersebut bisa berjalan secara
optimal.
Demokrasi
yang baik, bukan demokrasi yang selalu meninggalkan pekerjaan rumah yang sama
di setiap ujung pemungutan suara, tetapi demokrasi yang menuntut setiap pihak
untuk bekerjasama demi meraih tujuan kebangsaan mereka.
Jika
pemerintah dan Anggota Dewan memang sedang berjuang untuk menemukan kembali ‘setengah
hati masyarakat’ yang hilang, inilah momentum yang tepat untuk menunjukan niat
baik tersebut, karena masyarakat tidak hanya melihat dan menunggu, tetapi
masyarakat sedang berproses agar bisa mendapatkan manfaat dari pelaksanaan
demokrasi yang sedang mereka jalani. (asw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan