MELAWAN POLITIK LUPA 1965
[JUDUL BUKU: Candik Ala 1965, Tinuk R Yampolsky, Katakita, Jakarta 2011, 222 halaman]
KABUT politik di sekitar 1965 tidak hanya terjadi di sekitar Istana sampai Lubang Buaya, Jakarta Timur. Nyaris di seluruh penjuru negeri, utamanya Jawa, mengalaminya. Dan, entah berapa jumlah persisnya korban, politik kemudian dipegang oleh penguasa baru, Orde Baru. Bilangannya bisa fantastis dan faktanya membuat luka dalam dan berkepanjangan.
Apabila ditulis dalam sebuah novel, bisalah diduga: menjadi prosa liris. Candik Ala 1965 ini hanya bagian kepingan sejarah dan kabut politik empat puluh enam tahun lalu itu. Apalagi dengan tokohnya seorang anak di sekitar Solo, notabene disebut-sebut sebagai salah satu basis kuat partai komunis waktu itu, PKI.
Adalah Nik, kependekan nama panjang yang berkisah keluh, muram dan durjana di sekitar Solo. Hari-harinya mirip anak kebanyakan: bermain bola bekel, engklek, gobak sodor, dan bersekolah. Nik bergaul dengan Tris dan kawan-kawan, selain Mbak Kus, Mbak Mar dan mendengar dongeng, meski kemudian telinganya mendengar pembicaraan ketika terjadi bakaran-bakaran di pusat pertokoan Nggladag. Dan, di rumahnya terjadi pembakaran, di antaranya buku-bukunya, oleh Mas Tok. Ia hanya bisa menangis keesokan harinya karena tak bisa bersekolah.
Nik merekam peristiwa sekitar 30 September 1965 dan sesudahnya. Kelebatan-kelebatan yang tidak mudah untuk dihapus di sekitar dan perilaku orang-orang yang bisa mengguncang hatinya. Meski ia (si aku, Nik) bisa menjalani dengan caranya, dan bergaul dengan orang-orang yang seperti sajak Chairil anwar, orang-orang terbuang. Atau seperti sahabat pendiamnya, Kamil, bilang, “Kita hanyalah sekelompok orang sakit jiwa.”
Pada loncatan dua puluhan tahun kemudian, ada kesadaran lain bahwa peristiwa-peristiwa—yang lebih banyak—getir itu membuahkan sayatan batin seorang Jawa yang terperangkap peristiwa “remang-remang” itu.
Di sinilah Tinuk R Yampolsky menggambarkan kepada kita tentang ingatan-ingatan masa lalunya, yang bisa dirasakan dan kemudian untuk diingat bersama. Bahwa ada bagian yang sebenarnya bisa dicatat dari sebuah sejarah pahit, yang boleh jadi salayaknya tidak ditimpakan kepada “yang bukan pelaku”.
Politik jadi urusan pelik, sekaligus membawa dampak di sekitarnya. Meski, itu tak berarti sebuah pembiaran yang mesti dibiarkan. Buku ini, tentu, bukan dimaksudkan untuk mengusung semangat sekitar tahun 1965 yang mengharu-biru itu, kecuali bisa disebut sebuah penggalan sejarah, untuk melawan lupa. (M Djoko Yuwono)
[JUDUL BUKU: Candik Ala 1965, Tinuk R Yampolsky, Katakita, Jakarta 2011, 222 halaman]
KABUT politik di sekitar 1965 tidak hanya terjadi di sekitar Istana sampai Lubang Buaya, Jakarta Timur. Nyaris di seluruh penjuru negeri, utamanya Jawa, mengalaminya. Dan, entah berapa jumlah persisnya korban, politik kemudian dipegang oleh penguasa baru, Orde Baru. Bilangannya bisa fantastis dan faktanya membuat luka dalam dan berkepanjangan.
Apabila ditulis dalam sebuah novel, bisalah diduga: menjadi prosa liris. Candik Ala 1965 ini hanya bagian kepingan sejarah dan kabut politik empat puluh enam tahun lalu itu. Apalagi dengan tokohnya seorang anak di sekitar Solo, notabene disebut-sebut sebagai salah satu basis kuat partai komunis waktu itu, PKI.
Adalah Nik, kependekan nama panjang yang berkisah keluh, muram dan durjana di sekitar Solo. Hari-harinya mirip anak kebanyakan: bermain bola bekel, engklek, gobak sodor, dan bersekolah. Nik bergaul dengan Tris dan kawan-kawan, selain Mbak Kus, Mbak Mar dan mendengar dongeng, meski kemudian telinganya mendengar pembicaraan ketika terjadi bakaran-bakaran di pusat pertokoan Nggladag. Dan, di rumahnya terjadi pembakaran, di antaranya buku-bukunya, oleh Mas Tok. Ia hanya bisa menangis keesokan harinya karena tak bisa bersekolah.
Nik merekam peristiwa sekitar 30 September 1965 dan sesudahnya. Kelebatan-kelebatan yang tidak mudah untuk dihapus di sekitar dan perilaku orang-orang yang bisa mengguncang hatinya. Meski ia (si aku, Nik) bisa menjalani dengan caranya, dan bergaul dengan orang-orang yang seperti sajak Chairil anwar, orang-orang terbuang. Atau seperti sahabat pendiamnya, Kamil, bilang, “Kita hanyalah sekelompok orang sakit jiwa.”
Pada loncatan dua puluhan tahun kemudian, ada kesadaran lain bahwa peristiwa-peristiwa—yang lebih banyak—getir itu membuahkan sayatan batin seorang Jawa yang terperangkap peristiwa “remang-remang” itu.
Di sinilah Tinuk R Yampolsky menggambarkan kepada kita tentang ingatan-ingatan masa lalunya, yang bisa dirasakan dan kemudian untuk diingat bersama. Bahwa ada bagian yang sebenarnya bisa dicatat dari sebuah sejarah pahit, yang boleh jadi salayaknya tidak ditimpakan kepada “yang bukan pelaku”.
Politik jadi urusan pelik, sekaligus membawa dampak di sekitarnya. Meski, itu tak berarti sebuah pembiaran yang mesti dibiarkan. Buku ini, tentu, bukan dimaksudkan untuk mengusung semangat sekitar tahun 1965 yang mengharu-biru itu, kecuali bisa disebut sebuah penggalan sejarah, untuk melawan lupa. (M Djoko Yuwono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan