Ketika Tim mengikuti upacara pemakaman Rambu
Solo' di Salebayo, sekitar 50 orang laki-laki melakukan ritual bergerak
berputar sambil menggumamkan sesuatu. Menurut masyarakat yang kami temui,
gumamam itu sebenarnya adalah puji-pujian yang sedang mereka senandungkan untuk
mengawali prosesi selanjutnya yang akan dilakukan.
Di tengah-tengah tempat pesta tampak seekor
kerbau belang seharga 800 juta yang akan dipersembahkan. Sebelum kerbau itu
disembelih, maka dia akan diadu bersama kerbau-kerbau lain. Rekor penembelihan
kerbau yang pernah tercatat dalam penyelenggaraan pesta Rambu Solo' adalah 350
ekor kerbau yang disembelih dalam satu kali penyelenggaraan pesta!
Mungkin kita akan semakin terkejut jika
mengetahui jumlah sebenarnya yang diminta oleh penyelenggara pesta saat itu.
Menurut keterangan yang kami terima, pada saat itu kerabat orang yang meninggal
meminta ijin untuk menyembelih 500 ekor kerbau sekaligus. Tetapi karena
pertimbangan strata sosial orang yang meninggal, Kepala Adat tidak memberi ijin
dengan alasan akan membebani masyrakat lain yang memiliki strata sosial lebih
tinggi serta demi menjaga kelestarian binatang itu di Tana Toraja.
"Kalau
hal semacam itu diperbolehkan, bisa jadi kerbau di Toraja akan habis, dan
masyarakat kesulitan mendapatkannya lagi kalau ingin menyelenggarakan
pesta." Jawab seorang peziarah dengan bahasa daerahnya yang sangat kental
ketika kami menanyakannya.
Istilah alu
rambu solo’ terbangun dari tiga kata yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau
sinar), dan solo’ (turun). Sehingga aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai
upacaya pada waktu sinar matahari mulai turun.
Upacara ini juga disebut sebagai aluk rampe matampu’. Kata matampu
berarti barat, sehingga aluk rampe matampu’ diartikans ebagai upacara yang
dilaksanakan di sebelah barat Rumah Tongkonan.
Upacara arum
rambu solo’ ditujukan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang
meninggal agar berkumpul dengan para leluhur mereka yang bertempat di puya. Sebelum upacara ini dilaksanakan
orang yang meninggal belum benar-benar dianggap wafat, dan jenasah yang
diletakan di Rumah Tongkonan masih dianggap sebagai orang sakit sehingga masih
disediakan makanan dan diganti pakaian yang dikenakan selayaknya orang yang
masih hidup. Sebagai upacara penyempurna, diharapkan orang yang ‘diacarakan’
dalam upacara ini akan mencapai tingkatan to
membali puang (tingkatan dewa) dan selanjutnya menjadi deata (dewa pelindung) bagi kerabat dan masyarakat Toraja.
Meski saat ini
Aluk Rambu Solo’ dilaksanakan oleh semua penganut agama yang ada di Toraja,
pada dasarnya pesta ini didasarkan pada keyakinan Aluk Todolo yang merupakan kepercayaan lokal masyarakat Toraja. Di
dalam Aluk Todolo terdapat aluk pitung sabu pitu atau 777 aturan yang di
dalamnya juga memuat tentang aturan pemujaan roh leluhur pada saat pelaksanaan
upacara Aluk Rambu Solo.
Bagi kerabat
yang kemampuan ekonominya terbatas, upacara Aluk
Rambu Solo tidak tidak dilaksanakan
segera setelah seseorang meninggal, tetapi mereka akan melakukan rapat keluarga
untuk menentukan waktu penyelenggaraan pacara. Hasil kesepakatan seluruh
anggotakeluarga itulah yang nantinya akan ditetapkan sebagai waktu pelaksanaan
pesta. Berdasarkan status sosial masyarakat, pesta Aluk Rambu Solo dibedakan
menjadi 4 jenis, yakni Silli’ untuk
kasta paling rendah, dan untuk kasta-kasta selanjutnya disebut sebagai Pasangbongi, Di Batang atau Di Doya Tedong,
dan Rapasan sebagai pesta untuk kelas
tana’ bulan atau bangsawan tinggi.
Setelah proses
persiapan selesai, pelaksanaan Aluk Rambu
Solo diawali dengan pelaksanaan Aluk Pia atau Aluk Banua, yakni penyebelihan
kerbau dan babi diiringi ma’badong atau nyanyian semalam suntuk. Pada saat itu
pula status mayat sudah berubah menjadi to makula atau orang yang benar-benar
sudah dianggap meninggal. Pada hari ke dua para kerabat akan menyerahkan
sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan tersebut kelak akan dihitung
sebagai hutang yang harus dibayar kembali ketika kerabat yang memberi juga
melaksanakan Aluk Rambu Solo’. Hari ke tiga dilakukan ma’bolong (penyembelihan
babi) dan ma’batang (penyembelihan kerbau) yang dilakukan 0leh To Mebalun (pemimpin pesta), lalu pada
hari ke empat dilakukan ritual memaukan jenasah ke dalam peti kayu yang terbuat
dari kayu mate (kayu yang sudah
mati).
Pada prosesi
selanjutnya dilakukan ma’palao (menurunkan jenasah dari lumbung), allo
katongkonan (keluarga menerima tamu dan mencatat sumbangan), mantaa padang
(pemotongan dan pembagian kerbau), dan me aa (jenasah diturunkan dari lekian dan selanjutnya dimakamkan).
Upacara Aluk Rambu Solo’ baru berakhir setelahproses pemakaman jenasah selesai
dilakukan.
Berpesta tanpa menyayangkan harta untuk hatinya
yang sedang berduka, barangkali hanya ada di Tana Toraja.(AS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan kalimat yang sopan